“Persatuan Umat, Kunci Kebangkitan Islam.” Itulah judul sekaligus ringkasan rekomendasi penting dari perhelatan Konferensi Persaudaraan Muslim Dunia yang diselenggarakan PBNU, 19-20 Desember 2009 di Jakarta (
Republika, 21/12/09).
Pada kesempatan yang sama, Menkopolkam Djoko Suyanto menyatakan, “Keterbelahan umat Islam didasari oleh rendahnya pendidikan dan tingkat ekonomi mereka. Kondisi itu semakin diperparah dengan munculnya berbagai pertentangan internal umat, totalitarianisme di sejumlah negara dan standar ganda yang ditetapkan negara-negara Barat…” (Kompas, 20/12/09).
Cahaya Kesadaran
Harus diakui, persatuan umat yang berlangsung berabad-abad lamanya kini terkoyak. Kaum Muslim yang berjumlah 1,4 miliar lebih seolah tak ada artinya dalam kancah kehidupan dunia. Kaum Muslim dipecah-belah oleh penjajah ke dalam negara-bangsa, lebih dari 50 negara. Mereka kemudian dijadikan bahan bulan-bulanan penjajah.
Kenyataan ini persis seperti yang digambarkan Baginda Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Hampir saja bangsa-bangsa lain menyerang kalian dari berbagai penjuru, bagaikan rayap-rayap menyerang tempat makan mereka.” Para Sahabat bertanya, “Apakah hal itu karena kita pada waktu itu jumlahnya sedikit?” Rasulullah menjawab, “Tidak. Bahkan kalian pada waktu itu banyak. Namun, kalian saat itu bagaikan buih air bah. Sesungguhnya Allah mencabut kewibawaan kalian dan pada waktu yang sama Allah menanamkan wahn dalam hati kalian.” Para Sahabat bertanya, “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud).
Kondisi keterpecahan itu semakin diperparah dengan hadirnya para penguasa pengkhianat yang menjadi penyambung lidah para penjajah. Bak anjing pudel, para penguasa ini mengabdi kepada tuannya, penjajah Barat, meski harus dengan mengorbankan rakyatnya sendiri.
Konflik-konflik antar anak umat muncul di berbagai negeri tak pernah berhenti. Contoh: kasus perseteruan Sunni dan Syiah di kawasan yang bergolak saat ini, Irak, mencuat setelah serangan Amerika ke negeri 1001 malam tersebut tahun 2003. Sunni dan Syiah tak hanya beradu mulut, tetapi saling menumpahkan darah. Padahal mereka tak pernah bertikai sebelum serangan Amerika itu. Ini jelas tidak lepas dari skenario jahat Barat/AS untuk terus memecah-belah umat Islam.
Di Palestina dua kubu saling beradu. Hamas dan Fatah yang lahir dari kondisi keterjajahan ternyata tak rukun ketika menghadapi penjajah. Fatah justru dekat dengan Israel dan dengan berani mengakui Israel sebagai sebuah negara. Atas arahan Barat, para pemimpin negeri-negeri Islam membebek menyerahkan nasib Palestina di bawah agresor Zionis Israel. Para penguasa pengkhianat umat tersebut malah membuatkan benteng dan penjara besar bagi umat Islam di Palestina, yang menjadikan mereka setiap harinya hidup dengan ‘menu’ derita nestapa di atas tumpukan mayat, darah dan linangan air mata.
Umat juga menyaksikan bagaimana Afganistan dibuat porak-poranda oleh agresor Amerika atas dukungan para penguasa bonekanya yang bercokol di sana. Para penguasa pengkhianat itu bahkan rela menumpahkan darah kaum Muslim yang notabene adalah saudara seiman mereka.
Ketertindasan umat Islam yang minoritas juga menjadi pemandangan yang tidak pernah berakhir. Kaum Muslim di Cina, India, Moro, Rohingya, Kirghistan, dll, termasuk di sejumlah negeri Barat sendiri, saat ini terus-menerus diintimidasi di luar batas kemanusiaan.
Di Indonesia kaum Muslim juga tak kalah memprihatinkan. Partai-partai politik yang berafiliasi ke pemilih Muslim saling bersaing. Alih-alih memperjuangkan tegaknya kehidupan islami dengan berusaha menerapkan syariah Islam, para aktivis partai-partai Islam hanya duduk di kursi parlemen untuk kepentingannya sendiri, paling banter untuk kepentingan partainya. Suara-suara perjuangan Islam nyaris tak terdengar, kecuali kalau terkait dengan kepentingan mereka.
Dalam kondisi seperti itu, serangan Barat terus menusuk ke jantung pertahanan kaum Muslim. Barat melemparkan berbagai jargon dan labelisasi yang menjadikan umat makin terbelah. Barat menyebut moderat kalangan Islam yang mau dekat dengannya. Sebaliknya, mereka melabeli siapapun dari kalangan Muslim yang dengan gigih memperjuangkan tegaknya Islam dengan label fundamentalis, teroris dan radikal. Perpecahan pun tak terelakkan, kendati masih terkendali.
Namun demikian, lambat-laun keadaan sekarang berbalik. Rekomendasi yang dibacakan dalam kegiatan di atas sedikitnya mengisyaratkan bahwa cahaya kesadaran mulai tumbuh dan menyentuh semua level umat Islam, dari kalangan cendekiawan hingga orang awam. Perasaan senasib sepenanggungan memancar dari benak umat. Derita dan nestapa di berbagai penjuru Dunia Islam menjadi pemicu cita-cita bersama: mewujudkan persatuan umat Islam sedunia!