gravatar

Manhaj Hizbut Tahrir Fi Al-Taghyir (Telaah Sekilas)

ilustrasi
Oleh: Muhammad Ismail Yusanto (jubir HTI)

Salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah idiologi atau mabda’ adalah bagaimana merubah masyarakat sesuai dengan visi dan cita-citanya mengenai transformasi sosial. Tidak hanya Islam, bahkan semua idiologi menghadapi suatu pertanyaan pokok, bagaimana merubah masyarakat dari kondisi yang ada sekarang menuju kepada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya. Sebagai sebuah idiologi, Islam menderivasikan pemikiran-pemikiran sosialnya dari dalil-dalil untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat Islami.

Oleh karena itu, menjadi sangat jelas bahwa realitas sosial dalam kaca mata Islam bukan hanya untuk dipahami, tapi juga diubah dan dikendalikan. Dan ini berakar pada misi idiologisnya, yakni cita-cita untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar pada masyarakat dalam kerangka mewujudkan nilai-nilai tauhidullah (mengesakan Allah).

Dalam kerangka ini, maka teori perubahan sosial apa pun pasti akan berhadapan dengan tiga pertanyaan pokok. Pertama, bagaimana teori itu memposisikan atau melakukan penilaian terhadap masyarakat yang ada sekarang; Kedua, gambaran tentang tatanan masyarakat ideal seperti apa yang dicita-citakan; dan Ketiga, bagaimana perubahan masyarakat yang ada sekarang kepada masyarakat yang dicita-dicitakannya itu akan dilakukan.

*********

Buku Manhaj Hizbut Tahrir fi al-Taghyir, yang merupakan naskah pidato delegasi Hizbut Tahrir (tentang Hizbut Tahrir sendiri diurai dalam buku ini mulai halaman 41 sampai halaman 48) pada konferensi ISNA (Islamic Society of North America) di negera Missouri, AS, pada 22 Desember 1989, sebagaimana judulnya yang secara bebas bisa diartikan sebagai “metode perubahan Hizbut Tahrir”, merupakan penjelasan ringkas tentang bagaimana perubahan masyarakat yang ada sekarang menuju masyarakat yang dicita-citakan harus dilakukan. Disamping tentang bagaimana perubahan itu harus dilakukan, dalam buku ini secara ringkas Hizbut Tahrir juga memberikan penilaian terhadap kondisi masyarakat sekarang. Sementara, seperti apa kondisi masyarakat ideal yang dicita-citakan banyak diurai pada kitabnya yang lain.


Problematika Utama Umat

Mengenai kondisi masyarakat sekarang, Hizbut Tahrir menilai bahwa seluruh wilayah tempat hidup kaum muslimin saat ini tergolong Darul Kufur (hal 4). Menurut istilah syara’, Darul Kufur adalah suatu wilayah yang diterapkan sistem hukum selain syariat Islam dan atau keamanannya tidak berada di tangan kekuasaan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Islam. Sedang Darul Islam adalah suatu wilayah yang menerapkan sistem hukum syariat Islam dan keamanannya di tangan kaum muslimin. Secara lebih rinci, mulai halaman 4 hingga halaman 13 diuraikan argumentasi dari pendapat itu.

Di dalam Darul Kufur yang tersebar ke dalam berpuluh-puluh negara itulah kini hidup kaum muslimin. Sekalipun mereka memeluk agama Islam, tapi tatanan yang digunakan bukanlah bersumber dari syariat Islam, kecuali sebagian kecil perkara seperti masalah nikah, talak, rujuk, waris, zakat dan sedikit perkara yang lain. Sementara di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan sistem yang digunakan bukan berasal dari Islam. Secara individual tak sedikit umat yang dikuasai oleh pemikiran dan perasaan yang tidak Islami, sehingga perilakunya pun juga jauh dari nilai-nilai Islam. Secara komunal, sekalipun sebenarnya sesama muslim adalah bersaudara, tapi oleh karena pengaruh paham nasionalisme dan kesukuan, kaum muslimin yang di dunia berjumlah lebih dari 1,4 milyar tercerai berai bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Orang Arab membanggakan ke-Araban-nya, orang Turki membanggakan ke-Turkian-nya, orang Parsi membanggakan ke Parsian-nya, demikian juga yang lain, masing-masing membanggakan suku dan bangsanya (hal 13).

Keadaan yang sangat memprihatinkan itu terjadi terutama setelah runtuhnya payung dunia Islam, Daulah Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki, pada tahun 1924. Semenjak itu, dunia Islam yang sebelumnya membentang sangat luas tercabik-cabik dan sebagiannya kemudian dikuasai oleh kafir penjajah. Memang, wilayah-wilayah yang dijajah itu kemudian terbebas dari belenggu penjajahan lalu tumbuh menjadi negara yang merdeka. Tapi sebenarnya penjajahan tidaklah berhenti. Hanya bentuknya saja yang berubah. Bila dulu penjajahan dilakukan secara langsung dengan penguasaan secara militer, kini penjajahan dilakukan secara tidak langsung di bidang ekonomi, politik, budaya dan pendidikan.

Dalam tatanan jahiliah itu, secara bertubi-tubi umat Islam didera berbagai persoalan: kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan di bidang sains dan teknologi, penindasan, pemurtadan atau pendangkalan dan penyimpangan aqidah, kerusakan moral dan sebagainya.

Berdasar pengamatan atas realitas kehidupan umat Islam seluruh dunia tersebut, Hizbut Tahrir dalam kitab ini menyatakan bahwa problematika utama umat Islam (al-qadhiatu al-mashiriyah li al-lmuslimin) sekarang adalah I’adatu al-hukmi bi ma anzalallah bi thariqi iqomatu al-khilafah (mengembalikan penerapan seluruh hukum yang diturunkan Allah, yakni syariat Islam, melalui penegakan kembali daulah khilafah) (hal 21). Melalui penegasan ini tidak berarti Hizb mengabaikan berbagai macam problema faktual yang kini dialami oleh umat, tapi Hizb berpendapat bahwa problematika itu sesungguhnya hanyalah problema cabang dari problematika utama ini. Atau hanyalah merupakan akibat dari sebuah sebab yang lebih besar, yakni tidak diterapkannya hukum-hukum Allah di muka bumi ini. Logiknya, bila penerapan syariah diyakini akan membawa rahmah atau kebaikan, maka sebaliknya pengabaian pasti akan menimbulkan fasad. Jadi, berbagai macam problematika cabang tadi merupakan fasad dari diabaikannya syariat Allah.

Oleh karena itu, bila umat Islam sungguh-sungguh ingin menyelesaikan berbagai macam persoalan dan segera terbebas dari penindasan atau kedzaliman yang dialaminya saat ini, maka umat harus sungguh-sungguh pula untuk berjuang menegakkan daulah khilafah. Hanya di bawah naungan daulah khilafah sajalah penerapan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan dan persatuan umat seluruh dunia dapat diujudkan secara nyata. Hizb menyebut perjuangan seperti ini sebagai dakwah melanjutkan kehidupan Islam (li isti’nafi al-hayati al-islamiyyah). Inilah tujuan perjuangan Hizbut Tahrir. Dan yang dimaksud dengan dakwah melanjutkan kehidupan Islam adalah mengajak umat kepada pengamalan seluruh hukum-hukum Islam, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, makanan, minuman, pakaian, maupun peraturan-peraturan yang berhubungan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa luar, merubah negeri kaum muslimin menjadi Darul Islam dan masyarakat yang ada menjadi masyarakat Islam (hal 22).


Partai Politik

Guna merealisasikan tujuannya itu, Hizbut Tahrir telah menetapkan metode perjuangannya berdasarkan pengkajiannya terhadap thariqah (metode) dakwah Rasulullah sejak berdakwah pertama kali di Makkah hingga berhasil mendirikan daulah Islam yang pertama di Madinah, merubahnya dari darul kufur kepada darul Islam dan dari masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam (hal 22).

Menurut Hizb, metode perjuangan itu harus merupakan amal jama’iy (aktivitas kelompok), karena kegiatan individual (amal fardi) betapa pun banyaknya tidak akan dapat mewujudkan tujuan perjuangan itu. Juga harus merupakan kelompok, jamaah atau partai yang bersifat politik, karena perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah bagi penerapan kembali syariat Islam merupakan aktifitas politik. Tujuan ini tidak akan mungkin bisa dicapai kecuali melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh jamaah, kelompok atau partai yang bersifat politis (kutlah siasiy).

Maka, kelompok-kelompok yang bergerak di luar aktifitas politik, seperti kelompok yang mengkhususkan bergerak di bidang sosial kemasyarakatan atau sekadar menyerukan peningkatan kegiatan ibadah mahdah dan peningkatan akhlaq, lalu kelompok yang semata bergerak di bidang penerbitan, pemberian nasihat dan petunjuk atau kegiatan amar ma’ruf nahi munkar, pada hakekatnya tidak menyentuh secara langsung akar dari problematika umat Islam (hal 23). Hizb menjelaskan mulai halaman 23 hingga 39, bukan berarti bahwa kegiatan-kegiatan itu tidak penting. Tapi bila umat terkonsentrasi pada masalah-masalah seperti itu maka pasti tujuan utama perjuangan umat akan semakin sulit untuk diujudkan, yang ujungnya akan memperpanjang fasad dan penderitaan yang kini tengah mendera umat.


Metode Perubahan Masyarakat

Ada dua landasan utama penetapan metode perubahan yang digunakan oleh Hizbut Tahrir (hal 49), yakni Pertama, pengikatan pada hukum syara’ dan Kedua, ittiba’ pada bagaimana Rasulullah berdakwah serta pada bagaimana beliau menerapkan syariat dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tentang keterikatan pada syariat, Hizb berpendapat bahwa konsekuensi dari iman seorang muslim kepada Allah adalah kewajiban terikat pada syariat dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam melaksanakan dakwah. Dan tentang ittiba’ pada jalan dakwah Rasul, secara normatif memang terdapat tuntunan untuk ittiba’ pada nabi. Lagi pula, siapa lagi yang akan dicontoh dalam berdakwah bila bukan dakwah Nabi yang menghantarkan tegaknya Islam?

Berdasarkan pada sirah dakwah Rasulullah Muhammad Saw, Hizbut Tahrir menetapkan langkah operasional dakwahnya dalam tiga tahap atau marahil (hal 57).

Tahap Pertama, Marhalah Tastqif, yakni tahap pembinaan dan pengkaderan individu untuk melahirkan kader yang bersyakhsiyyah islamiyyah (memiliki akliyah dan nafsiyah Islam) dan meyakini fikrah serta thariqah Hizbut Tahrir untuk pada akhirnya bersedia bergabung ke dalam Hizb. Marhalah ini dilakukan oleh Rasulullah di Makkah selama tiga tahun, hingga datang perintah untuk berdakwah secara terang-terangan.

Tahap Kedua, Marhalah Tafa’ul ma’a al-Ummah, yakni tahap berinteraksi dengan ummat untuk mendorongnya berperan serta dalam dakwah hingga mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Caranya dengan menggugah kesadaran umat dan membentuk pendapat umum di tengah masyarakat, hingga ide-ide, pendapat dan hukum-hukum yang telah ditabanni oleh Hizb menjadi pendapat umat. Dan umat terdorong untuk merealisasikan itu semua dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bersama Hizb.

Pada tahap ini Hizb disamping tetap melakukan kegiatan pembinaan tsaqafah murakkazah untuk para kader-kadernya melalui halqah-halqah secara intensif dan pembinaan tsaqafah jama’iyyah dengan cara menyampaikan ide, pendapat dan hukum yang ditabanni Hizb secara terbuka kepada masyarakat luas melalui berbagai cara dan sarana, juga melakukan al-shira’u al-fikriy (pergolakan pemikiran) menentang idiologi, ide-ide, pendapat, sistem, perundangan dan peraturan-peraturan kufur dengan cara menjelaskan kesalahannya, menunjukkan pengaruh buruknya dan menjelaskan pendapat yang benar. Sementara perjuangan politik (al-kifaahu al-siyasiy) pada tahap ini mencakup perjuangan melawan negara-negara imperialis, membongkar rencana jahat mereka dan membebaskan umat dari pengaruh mereka. Lalu melakukan perlawanan terhadap penguasa di negeri-negeri muslim dan menasehati agar berpihak pada Islam, serta berusaha keras untuk mengambil alih kekuasaannya, sebagai awal berjalannya tahap ketiga. Di sisi lain, pada tahap ini Hizb juga melakukan tabbani mashalihu al-ummah, dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan dan kepentingan ummat sesuai dengan hukum syara’.

Tahap Ketiga, Marhalah Istilamu al-Hukmi, yakni tahap pengambilalihan kekuasaan guna penerapan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Semua kegiatan dakwah Hizb dilakuan dengan prinsip dakwah fikriyah, yakni melalui perubahan bahkan revolusi pemikiran (inqilabu al-fikriy) dan dakwah politis. Hizb menjauhi penggunaan cara-cara kekerasan, karena sebagaimana dikatakan Rasulullah, pada tahap pertama dan kedua, dilarang menggunakan kekerasan (hal 67). Dakwah pada tahap dua juga ditempuh melalui aktivitas mencari pertolongan (thalabu al-nushrah) kepada ahlu al-quwwah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah yang meminta pertolongan kepada kabilah Kindah dan penduduk Madinah saat keadaan dakwah bertambah genting menyusul tekad tokoh-tokoh Quraisy untuk menghabisi Rasulullah dan para shahabat. Pertolongan itu diperlukan guna mendapatkan perlindungan (himayah) agar aktivitas dakwah tetap berjalan dan untuk mencapai pengambilalihan kekuasan sebagai jalan penerapan syariat Islam (hal 72).


Khatimah
Dalam ilmu sosial, perubahan sosial diartikan sebagai perubahan (fungsional dan struktural) dari unsur sosial. Unsur sosial terdiri dari individu anggota masyarakat, lembaga sosial dan pranata sosial. Perubahan fungsional terjadi ketika terdapat perubahan fungsi pada unsur sosial dari fungsi laten (yang ada) kepada fungsi manifest (yang seharusnya), atau sebaliknya. Sedang perubahan struktural terjadi ketika jalinan antar unsur-unsur sosial yang dihasilkan oleh perubahan membentuk pola hubungan atau tatanan yang baru sama sekali atau berbeda dengan yang sebelumnya.

Berkaitan dengan obyek perubahan, kecepatan dan hasil yang dicapai, secara teoritis terdapat dua model perubahan sosial: evolutif dan revolutif. Perubahan evolutif adalah perubahan sosial secara gradual. Mengingat sifatnya, perubahan ini lebih mungkin terjadi pada, mengenai dan bersifat individu. Atau bila terjadi pula pada lembaga dan pranata sosial, terbatas pada perubahan fungsional. Dengan kata lain, perubahan evolutif sedikit sekali memungkinkan terjadinya perubahan struktural pada lembaga dan pranata sosial. Perubahan dua unsur sosial itu lebih mungkin terjadi secara revolutif.

Perubahan revolutif adalah perubahan sosial yang terjadi secara mendadak, dalam waktu yang cepat dan mendasar serta kadang cenderung destruktif karena merupakan perubahan fundamental dari bangunan lama kepada yang baru. Perubahan ini akan tampak pada pembaruan (penggantian) struktur (dan tentu sekaligus fungsi) lembaga dan pranata sosial. Karena sifatnya yang cepat dan fundamental, perubahan ini sedikit sekali memberi tempat bagi perubahan unsur individu. Walhasil, dalam perubahan revolutif faktor individu cenderung agak terabaikan, sesuatu yang tidak jarang justru menjadi penghambat perubahan itu sendiri atau bahkan menjadi pendorong terjadinya revolusi lagi pada fase berikutnya akibat belum siapnya individu anggota masyarakat menerima perubahan yang serba cepat dan mendadak tersebut.

Dakwah dimengerti sebagai suatu upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk melakukan perubahan pada diri manusia, pikiran, perasaan dan tingkah lakunya menjadi lebih Islamy, hingga terbentuk masyarakat Islam (al-mujtama’ al-Islamy). Dari definisi ini kita melihat terdapat dua fase perubahan, yakni perubahan individu (taghyiru al-afrad) dan perubahan sistem (taghyiru al-nidzam) ketika menuju masyarakat Islam. Perubahan fikrah individu ke arah Islam yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perubahan fungsi lembaga dan pranata sosial, terjadi secara evolutif atau ishlahy.

Perubahan pada individu akan menghasilkan keadaan yang kondusif bagi perubahan mendasar (revolutif atau inqilabiyah) pada fase berikutnya. Karena, seperti telah disebut, perubahan evolutif tidak akan secara otomatis menghasilkan masyarakat Islam yang ditandai dengan perubahan struktur lembaga dan pranata sosial sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk mewujudkannya harus ada satu fase “revolutif”, kendati tidak harus diartikan sebagai gerakan destruktif, chaos dan berdarah.

Jelaslah, bahwa tugas umat untuk mencapai tujuan dakwah Islam adalah melakukan perubahan individu secara evolutif melalui dakwah fikriyah dan mengarahkannya pada terbentuknya kekuatan ummat melalui dakwah siyasiyah bagi tercapainya perubahan sistem yang harus dilakukan secara revolutif.

Dalam Hizb, sebagaimana diuraikan dalam kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi al-Taghyiri, perubahan individu yang bersifat evolutif dilakukan melalui dialog dalam pendekatan yang bersifat individual dan secara intensif melalui halqah-halqah murakkazah. Inilah fase pertama. Kemudian perubahan pemikiran ditingkatkan bukan hanya pada tingkat individu, tapi juga masyarakat melalui kegiatan tasqif jamaiy. Perubahan revolutif terjadi ketika masyarakat menuntut perubahan struktur dan pranata sosial ke arah Islam, hingga terbentuk masyarakat Islam. Berpuncak pada pengambilalihan kekuasaan guna penerapan syariat Islam. Dalam daulah Islam di mana di dalamnya diterapkan syariah Islam, warga negara akan dibina secara intensif melalui berbagai bentuk dan pendekatan agar mereka secara berangsur mampu mengikuti irama perubahan revolutif yang telah terjadi. Inilah dakwah yang dilakukan oleh negara bagi dimungkinkan terjadinya perubahan evolutif seluruh anggota masyarakat guna mendukung tetap tegaknya sistem Islam.(hayatulislam.net, 15/04/2004)
Wallahu’alam bi al-shawab

Photobucket

catatan-catatan

Video Streaming HTI

Kitab-kitab Gratis

Photobucket