gravatar

Lagu IMAN karya Ahmad Dhani

Bagi saya lagu ini sangat special banget, karena memang sarat dengan dakwah dan motifasi buat para pengemban dakwah...
mengingatkan pada kita bahwa ikhtiyar kita dalam dakwah jangan pernah surut meski seberat apapun tantangannya, sebesar apapun halangannya. karena ikhtiyar kita hanya sebuah bentuk usaha dan usaha itulah yang Alloh SWT nilai bukan HASIL, karena keberhasilan adalah hak prerogatif Alloh SWT.

maka selama kita berjalan di jalan Alloh SWT jangan pernah takut.  karena Alloh bersama kita, Alloh akan memenangkan kita yang memperjuangkan Agama-Nya, insya Alloh....

lagu kenangan Aksi Bela Islam 212

inilah lirik lagu:

IMAN

by: TRIAD / Ahmad Dhan

Bila kebatilan merajalela
Bila kebenaran sulit ditegakkan
Kita hanya melihat
Dan terus membiarkan
Pasti sampai saatnya
Balasan akan tiba

Dan kitalah Khalifah
Khalifah kebangkitan
Dan harus punya nyali
Menjunjung kebenaran
Hukum tumpul ke atas
Hanya tajam ke bawah
Bismillahi Tawakkal
Sampai saatnya mati

Tak ada Sang Kekuatan selain kekuatan dari Allah
Dan tak ada daya upaya selain pertolongan Allah

Kita harus berani
Berani karna benar
Dan harus punya nyali
Nyali untuk mati
Matinya orang-orang
Yang selalu berjalan
Di atas jalan Allah
Kekal selamanya

Tak ada Sang Kekuatan selain kekuatan dari Allah
Dan tak ada daya upaya selain pertolongan Allah

Firaun dan Raja Namrus akhirnya pun mampus
Kau lihat sang raksasa akhirnya pun binasa
Tanamkan dalam jiwa
Allah bersama kita
Dan ucapkanlah takbir
ALLAHU AKBAR

reff:
Tak ada satu Kekuatan selain kekuatan dari Allah
Dan tak ada daya upaya selain pertolongan Allah

.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Klarifikasi Ust Felix Siauw atas batalnya beliau orasi di Aksi Bela Palestina 1217

Narasi Tanpa Orasi
"Anak muda sekarang giliran kalian, ambil ini pangung, anak muda!" Ustadz Bachtiar Nasir menyemangati pemuda yang mendominasi #AksiBelaPalestina
"Ustadz Felix mana ustadz Felix sini". Saya kaget, tak menduga saya diminta orasi di panggung. Tapi jamaah sudah berteriak, "Ustadz Felix! Ustadz Felix", saya pun hampiri UBN
Komandan Nasional Kokam Mashuri membuka dengan ikrar, saya pun berdiri di panggung, mendampingi beliau. Bersiap sambil berpikir apa yang mau saya sampaikan
Tiba-tiba Kyai Cholil Nafis, MC aksi maju dan minta panggung disterilkan, semua mundur kecuali pembaca ikrar dan pemuda, termasuk saya tetap di tempat awal
Lalu datanglah Kyai Marsudi Syuhud, meminta saya mundur, disertai isyarat tangan sambil mendorong. "Antum mundur, kebelakang, mundur dulu", saya pun heran
Para asatidz banyak yang tak melihat, sebab mereka pun tampak sedang berdiskusi tentang acara. Para asatidz lain yang melihat, sambil marah menghampiri saya
Mereka tak tega saya diminta mundur dengan cara seperti itu. Mereka bahkan sepakat mengawal saya kembali ke panggung depan, saya tolak dengan halus
Saya coba merangkul dan meredakan beberapa asatidz, saya sampaikan "saya ridha, saya legowo". Lalu menyampaikan betapa acara ini disaksikan banyak mata
Bahwa #AksiBelaPalestina adalah pesan kita ke dunia tentang bersatunya kita membela saudara kita di sana, jangan sampai justru ada berita yang dinantikan musuh Islam
Yang saya tak tahan, ribuan massa meneriakkan nama saya terus menerus, haru. Saya tertunduk, tak mampu menatap mata mereka yang mengharap saya menyapa mereka
Massa tak mau reda walau MC terus mencoba mengendalikan, sampai UBN maju dan meredakan massa, barulah mereka mau mendengar, barulah acara bisa dilanjutkan
Demikian klarifikasi ini saya tulis, saya berkhusnudzann, bahwa Kyai Marsudi tentu punya pertimbangan matang, kita hormati. Yang penting persatuan semua terjaga, cukup
Yang Allah berikan lebih dari yang diambil dari kita. Persatuan, rasa cinta, rindu, Allah beri meski saya tak sempat menyapa. Narasi tanpa orasi. Alhamdulillah 'ala kulli haal!
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Khilafah itu baku dalam 4 (empat) perkara mendasar

Oleh: Ustadz Azizi Fathoni

1. Kedaulatan/Siyaadah (otoritas tertinggi dalam membuat hukum) di tangan syara'. Tidak boleh ada di dalamnya hukum yang dikreasi oleh manusia. Semuanya harus didasarkan kepada syariat atau bertendensikan kepada nash syara' melalui proses istinbath dan ijtihad syar'i.

2. Kekuasaan/Sulthaan (otoritas dalam memilih kholifah) di tangan umat (bukan rakyat). Karenanya orang kafir tidak punya hak pilih apalagi dipilih. Hanya saja mereka boleh hidup di bawah naungannya dengan akad dzimmah (yang dengan begitu mereka disebut Ahludz Dzimmah/Kafir Dzimmi) dengan dua syarat: membayar jizyah, dan tunduk terhadap syariat Islam.

3. Wajib satu khalifah untuk seluruh kaum muslimin di dunia. Tidak boleh lebih dari satu dan ini sudah merupakan ijma'. Ia berjuluk al Imam al A'zham (pemimpin ter-agung) karena tidak ada lagi pemimpin umat Islam di atasnya, dan tidak pula ada pemimpin yang selevel dengannya.

4. Khalifah punya hak mengadopsi hukum (bukan membuat hukum). Yaitu hukum syariat tertentu yang dibutuhkan demi pengurusan atau kemaslahatan umat Islam khususnya, dan seluruh warga khilafah umumnya.

Pertanyaannya:
Adakah sistem pemerintahan yang bisa mengakomodasi perkara-perkara baku ini selain bentuk pemerintahan yang dicontohkan Nabi dan dilanjutkan Khulafa` Rasyidun?
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

MENANTANG IDE KHILAFAH

Oleh Prof. Fahmi Amhar

Tulisan Prof. Moh Mahfud MD di harian Kompas edisi 26 Mei 2017 berjudul "Menolak Ide Khilafah" telah memulai sebuah diskursus tingkat elit intelektual di negeri ini. Kalau dulu diskursus ini ibaratnya hanya terjadi di antara para “prajurit” – bahkan “prajurit cyber”, maka kini para “senopati” sudah turun gelanggang.
Saya memahami kalau Prof. Mahfud mendapatkan pernyataan yang dirasakan “tidak cukup bermutu” dari seorang aktivis ormas Islam yang “nobody”. Bayangkan, seorang guru besar, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013, ditanya dengan nada marah dan merendahkan dari seseorang yang mungkin bahkan tidak hafal pembukaan UUD 1945.
Saya sendiri tidak merasa pantas untuk memberi komentar terhadap tulisan Prof. Mahfud tersebut. Namun sebagai anak bangsa, hak saya untuk berpendapat tentu saja dilindungi oleh konstitusi.
Saya bukan alumnus kampus-kampus yang dinilai Ketua Umum PB NU Said Agil Siradj tempat persemaian radikalisme. Saya S1 sampai S3 di Vienna University of Technology, Austria, sebuah negara demokratis di Eropa. Saya sepuluh tahun di sana. Sepertinya Austria negara yang sudah adil dan makmur, meski tidak mengenal Pancasila. Saya tidak belajar hukum secara khusus, melainkan hanya beberapa mata kuliah. Namun di tahun 1987 saya sudah mengenal tentang Constitutional Court, sesuatu yang saat itu belum pernah saya dengar di Indonesia. Saya juga ikut menyaksikan ketika tahun 1989-1991 negara-negara Blok Timur berubah dari komunis ke kapitalis. Dan saya juga menyaksikan bagaimana Austria melakukan referendum untuk bergabung ke Uni Eropa atau tidak.
Saya melihat, dalam sistem demokrasi, sistem di Austria berbeda dengan Jerman, Swiss atau Perancis, meski sama-sama Republik. Sistem demokrasi juga diterapkan di Inggris atau Belanda, meski mereka menganut monarki. Ini artinya, orang bisa sama-sama menerima demokrasi tanpa mempersoalkan “demokrasi yang seperti apa?”.
Pertanyaannya, mengapa untuk demokrasi kita bisa seperti itu, tetapi untuk sistem pemerintahan Islam - Khilafah - kita tidak bisa? Kenapa kita menolak ide khilafah dengan argumentasi tidak ada bentuk yang baku, khususnya cara suksesi kepemimpinan? Sebenarnya kita bisa lebih arif, setidaknya menantang diskusi bahwa ide khilafah adalah sebuah alternatif dari suatu kemungkinan kebuntuan politik.
Dalam sejarahnya, Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pernah berubah-ubah. Tak sampai tiga bulan setelahnya, yakni pada 14 November 1945, Presiden Soekarno sudah mengubah sistem presidensil menjadi parlementer. Pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Indonesia berubah menjadi negara federal (RIS). Lalu tahun 1950 kembali ke NKRI dengan UUDS-1950 yang bunyi sila-sila dari Pancasila sangat berbeda. Pasca dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD-1945 tetapi masih mengakui Partai Komunis Indonesia (PKI). Inti dari sejarah ini, saya bertanya-tanya: benarkah dulu para pendiri bangsa menganggap UUD1945 itu adalah final? Kalau final, kenapa disisakan sebuah pasal 37 yang memungkinkan UUD1945 diubah? Kalau benar wilayah NKRI itu final, mengapa tahun 1976 kita menerima Timor Timur berintegrasi, lalu tahun 1999 kita lepas lagi? Kalau konstitusi NKRI itu final, mengapa pasca reformasi kita amandemen berkali-kali?
Oleh karena itu, kalau kita menuduh kelompok pro-khilafah itu radikal dan telah “terindoktrinasi” atau boleh juga “tercuci-otaknya”, tidakkah jangan-jangan kita juga tercuci otaknya dengan jargon “NKRI harga mati”?
Karena tinggal di Eropa yang sangat demokratis (bahkan agak liberal), sejak akhir 1980-an, saya cukup bebas mengenal berbagai ideologi di dunia. Buku “Das Kapital” – Karl Marx misalnya, saya baca pertama kali di Austria, karena di Indonesia dilarang. Di Austria, buku-buku komunisme sama bebasnya dengan buku-buku anti komunis. Pada masyarakat mereka yang maju, komunisme tidak dianggap ancaman. Partai Komunis Austria ada, tetapi tak pernah meraih kursi dalam pemilu.
Waktu itu, belum ada internet, namun bacaan-bacaan yang bebas itu bahkan mampu menembus tirai besi di negara-negara komunis, yang di sana cuma ada satu koran, satu radio, satu televisi dan satu partai, yang semuanya komunis. Dunia akhirnya menyaksikan keruntuhan adidaya komunies Uni Soviet tahun 1991.
Karena itu, tak heran di Austria juga saya mengenal berbagai gerakan Islam, termasuk di antaranya yang memperjuangkan suatu negara Islam global, khilafah. Untuk orang-orang di negara adil makmur seperti Austria, dakwah memerlukan rasionalitas yang sangat kuat. Mereka tidak bisa menjual perlawanan kepada otoritas publik yang sudah melayani rakyat dengan baik. Mereka juga tak bisa menjual dogma pada masyarakat yang sudah berpikir sangat rasional. Bahkan soal iman pun tidak bisa mengandalkan warisan seperti ditulis oleh ananda kita Afi Nihaya. Faktanya, gender, suku, ras, kelas sosial bisa diwariskan, tetapi jutaan warga Eropa mencari dan menemukan sendiri agamanya dengan bekal akal sehat karunia Tuhan pada mereka.
Oleh karena itu, ide khilafah perlu untuk ditantang dengan lebih arif secara akademis. Sama kalau dalam pelajaran sekolah kita memberi tahu anak-anak kita tentang sistem kerajaan vs sistem republik, demokrasi vs diktatur, kenapa kita keberatan, bahkan ketakutan untuk memperkenalkan sistem khilafah, yang diklaim bukan kerajaan, bukan republik, bukan demokrasi dan juga bukan diktatur? Lantas mahluk apakah ini?
Sependek yang saya tahu, inti dari sistem khilafah itu bukan model suksesi seperti yang Prof. Mahfud katakan sebagai “tidak baku” dan “ijtihadiyah”. Adanya berbagai varian suksesi – yang semua tidak diingkari oleh para shahabat Nabi radhiyallah anhuma – justru menunjukkan keunikan sistem ini. Orang yang akan dibai’at sebagai khalifah boleh dipilih dengan permusyawaratan perwakilan (seperti kasus Abu Bakar), dinominasikan pejabat sebelumnya (seperti kasus Umar, yang kemudian disalahgunakan oleh berbagai dinasti kekhilafahan), dipilih langsung (seperti kasus Utsman), atau otomatis menjabat (seperti kasus Ali, karena dia saat itu seperti wakil khalifah). Semua ini bisa dilakukan, dan bisa mencegah terjadinya krisis konstitusi, yaitu suatu kebuntuan ketika presiden sebelumnya sudah habis masa jabatannya, dan presiden yang baru belum definitif.
Itu baru sebuah contoh. Memang yang saya lihat selama ini ada jurang komunikasi antara pakar tata negara seperti Prof. Mahfud dengan gerakan pro khilafah seperti HTI. Bahkan terma “demokrasi” saja didefinisikan dan dimengerti secara berbeda. Bagi HTI, sejauh yang saya tahu, demokrasi itu bukan sekedar prosedural seperti kebebasan bersuara, berserikat, adanya partai-partai politik, pemilu dan parlemen. Tetapi demokrasi adalah ketika suara rakyat bisa di atas suara Tuhan, ketika hawa nafsu rakyat bisa mengalahkan dalil halal-haram kitab suci. Inilah demokrasi di Eropa yang bisa melegalkan nikah sesama jenis, atau melarang jilbab di ruang publik.
Pancasila dalam redaksi saat ini, tidak menyebut demokrasi, tetapi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sila ini dimaknai berbeda pada era Orde Lama, Orde Baru atau Reformasi. Demikian juga ekonomi Pancasila, ada aneka tafsir yang bertolakbelakang antara ekonomi terpimpin ala Orde Lama, ekonomi kapitalis ala Orde Baru, dan ekonomi neoliberal ala Reformasi. Bukankah di sini sama tidak jelasnya dengan ide khilafah menurut Prof. Mahfud ? Oleh karena itu, menurut saya, khilafah sebagai ide sah-sah saja ditantang dalam meja diskusi dengan pikiran dingin dalam rangka mendapatkan solusi kehidupan berbangsa.
Penulis merupakan Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie-IABIE. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan pendapat IABIE.
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

"Khilafah tidak punya bentuk baku", ini menyalahi nash dan logika

Saya ingin menanggapi siapa saja yg mengatakan, Khilafah tdk punya bentuk baku. Ini menyalahi nash dan logika.
#KhilafahAjaranIslam

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman

1- Istilah "Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah" itu sendiri dari Nabi [HR. Ahmad]. Makna, "Ala Minhaj Nubuwwah" itu artinya Khilafah yang dijalankan para sahabat adalah copy paste dari Nabi, bukan bikinan sahabat. Sahabat tinggal melanjutkan negara dan sistem yang dibangun Nabi.

2- Nabi menjalankan negara, sebagai kepala Negara Islam pertama, dengan ibukotanya Madinah, selama 10 tahun. Selain ada kepala negara, ada wazir [pembantu kepala negara], yaitu Abu Bakar dan 'Umar [HR. Hakim].

3- Karena Negara Islam zaman Nabi meliputi Jazirah Arab [Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain dan Qatar], maka Nabi pun mengangkat sejumlah wali [kepala daerah]. Mu'adz di Janad, Ziyad di Yaman, Abu Musa di Zabid dan 'Aden.

4- Nabi juga mempunyai pasukan perang yang terlatih. Nabi terkadang memimpin sendiri peperangan [27 kali]. Di zamannya, tidak kurang 79 kali perang besar [ma'rakah], dan perang kecil [sariyyah]. Semuanya ada Panglima Perangnya.

5- Mengenai Majelis Syura [Majelis Umat], di zaman Nabi saw. juga sudah ada. Mereka terdiri dari Abu Bakar, 'Umar, Hamzah, 'Ali, Salman Al-farisi, Hudzaifah al-Yaman.

6- Urusan administrasi [pencatatan], pada zaman Nabi sudah ada para pencatat urusan: (1) Wahyu, seperti Zaid bin Tsabit; (2) Penjaga rahasia Nabi [Shahib Sirr an-Nabi], yaitu 'Abdullah bin Mas'ud, dll.

7- Negara Nabi saw, dan Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah, berbentuk Negara Kesatuan, karena wilayahnya satu, hukum yang diterapkan juga satu, yaitu hukum Islam, diterapkan di seluruh wilayah. Nabi menyatakan, "Jika dibai'at dua khalifah, bunuhlah yang terakhir" [HR Muslim]

8- Negara Nabi, dan Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah, juga bukan sistem Monarchi, Absolut maupun Parlementer. Bukan pula Repulik, Presidensil maupun Parlementer. Nabi dan para Khulafa' Rasyidin bukan Raja, Perdana Menteri, atau Presiden. Tapi, kepala Negara Islam yang khas.

9- Jika Nabi mengajarkan shalat lalu bersabda, "Shallu kama raitumuni ushalli", setelah itu para sahabat mengcopy paste tatacara shalat Nabi. Tatacara itu diajarkan semasa Nabi hidup, begitu pula dlm menjalankan negara. Tidak kurang selama 10 tahun sejak di Madinah hingga wafat.

10- Ketika Nabi saw. wafat, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah untuk memilih siapa yang akan menggantikan Nabi saw. dalam mengurus urusan negara dan umatnya. Mereka berselisih soal siapa yang lebih pantas, bukan wajib atau tidak adanya Khalifah?

11- Setelah Abu Bakar terpilih secara aklamasi, maka Abu Bakar pun dibai'at menjadi Khalifah, pengganti Nabi dalam mengurus negara. Beliau dibai'at di Masjid Nabawi. Bai'at ini juga menjadi metode baku dalam pengangkatan Khalifah, meski teknisnya bisa berbeda. Ini teknis.

12- Sebelum Abu Bakar wafat, beliau melakukan survei kepada penduduk Madinah, siapakah yang layak menggantikan dirinya. Muncullah nama 'Umar dan 'Ali. Maka, Abu Bakar pun menunjuk 'Umar. Ini teknis, bukan metode. Metodenya tetap bai'at. 'Umar pun dibai'at menjadi Khalifah.

13- Menjelang wafat, 'Umar menunjuk formatur untuk memilih Khalifah yang akan menggantikannya. Ini juga bukan metode, tetapi teknis. Metodenya tetap, bai'at. Karena itu, setelah 'Utsman terpilih melalui formatur, beliau pun dibai'at menjadi Khalifah.

14- Bahkan, ketika Sayyidina 'Ali dan Hasan bin Ali menjadi Khalifah, keduanya juga dibai'at. Sampai akhirnya, masing-masing menjadi Khalifah. Begitulah, sistem ini dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat, diwariskan turun temurun. Jadi, Khilafah ini bukan buatan ulama'.

15- Bukti bahwa negara ini mempunyai bentuk baku, sistemnya jelas, adalah keteraturan dan capaian yang dihasilkan selama 10 tahun zaman Nabi, dan 30 tahun zaman Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah. Kalau tidak ada bentuk baku dan sistemnya, pasti amburadul. Sekarang saja amburadul.

16- Bukti, bahwa negara ini bukan buatan ulama', kitab yang mengulas tentang negara, yang paling tua adalah kitab al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis oleh Ibn Qutaibah [w 276 H]. Ditulis abad ke-3 H. Artinya, 241 tahun setelah Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah.

17- Bahkan, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, baru ditulis oleh Imam al-Mawardi [w. 450 H], oleh al-Farra' [w. 458 H], pada abad ke-5 H. Itu pun ditulis di era kemunduran Khilafah 'Abbasiyyah, agar umat paham tatakelola negara menurut syariah. Karena umat sudah agar rabun.

18- Kitab-kitab yang ditulis para ulama' di zaman itu, bersifat komplementer, karena sistemnya sudah berjalan. Kitab-kitab ini ditulis untuk meluruskan kembali kebengkokan dan kesalahan dalam menerapkan Islam. Karena itu, apa yang ditulis oleh Imam al-Mawardi bukan rekaan beliau.

Karena itu, siapapun yang menyatakan, bahwa Khilafah tidak mempunyai bentuk baku, jelas menyalahi nash, baik al-Qur'an, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat. Juga menyalahi logika, sebagaimana yang diuraikan di atas. Wallahu a'lam.

sumber: tweeter
.........Lihat Selengkapnya