gravatar

Kritik Terhadap Konsep Perubahan Sistem Secara Bertahap (Tadarruj) dari Sistem Kufur menuju Sistem Islam (Syariah & Khilafah)

ilustrasi
Tatkala pemahaman kaum muslim terhadap Islam mengalami kemunduran, dan hampir-hampir berada pada titik nadir, muncullah gagasan-gagasan ganjil yang diklaim berasal dari ajaran Islam. Padahal, gagasan-gagasan itu telah menyimpang jauh dan tidak memiliki akar dalam Islam. Diantara gagasan-gagasan itu adalah:
Perubahan harus dilakukan secara bertahap

Perubahan harus dimulai dari mengubah negeri-negeri muslim, kemudian semuanya bergabung membentuk Khilafah Islamiyyah.

Perubahan harus dimulai dari perubahan individu, keluarga, baru masyarakat.

Perubahan harus dimulai dari perubahan akhlaq dan penjernihan hati (qalbun salim).

Perubahan Harus Dilakukan Secara Bertahap?

Sebelum mengkaji kedudukan dan status hukum tadarruj, kita mesti memahami terlebih dahulu pengertian tadarruj. Ada beberapa pemahaman mengenai tadarruj (bertahap).

Pertama, tadarruj sering diartikan dengan penerapan syari’at Islam secara bertahap. Dengan kata lain, tadarruj adalah menerapkan atau mengakui hukum kufur yang dianggap dekat dengan syari’at Islam sebagai tahapan untuk menerapkan syari’at Islam secara sempurna. Contoh tadarruj model ini adalah partai-partai Islam yang mengikuti pesta demokrasi untuk meraih jabatan presiden, sebelum mengangkat seorang Khalifah. Walaupun, mereka memahami bahwa, presiden adalah kepala negara dalam sistem pemerintahan kufur demokratik, akan tetapi, presiden dianggap sebagai tahapan non syar’i untuk menuju pembai’atan seorang Khalifah. Contoh lain adalah partai-partai Islam yang melibatkan diri dengan parlemen kufur untuk mengubah sedikit demi sedikit hukum negara dengan hukum Islam. Dengan kata lain, penganut tadarruj telah menjadikan parlemen kufur sebagai tahapan untuk melakukan perubahan menuju masyarakat Islam, meskipun mereka juga memahami bahwa parlemen demokratik bertentangan dengan Islam secara diametral.

Kedua, tadarruj juga bermakna, penerapan sebagian syari’at Islam, dan “berdiam diri” terhadap sebagian hukum-hukum kufur untuk sementara waktu, sampai tibanya waktu untuk menerapkan syari’at Islam secara sempurna. Contoh yang palang gamblang adalah apa yang dilakukan oleh anggota-anggota gerakan Islam di parlemen demokratik. Mereka berdiam, bahkan melibatkan diri dalam aturan-aturan kufur untuk mengubah hukum-hukum kufur secara bertahap.

Ketiga, tadarruj kadang-kadang juga berhubungan dengan pemikiran-pemikiran yang menyangkut ‘aqidah, misalnya demokrasi Islam, sosialisme Islam, dan lain sebagainya. Kadang-kadang juga berhubungan dengan masalah hukum syari’at, misalnya, seorang wanita muslimah mengenakan jilbab yang tidak panjang —–sebatas lutut—, hingga tiba waktunya mengenakan jilbab yang sempurna. Tadarruj kadang-kadang juga berkaitan dengan sistem, misalnya, adanya keinginan sebagian gerakan Islam yang memasukkan anggotanya ke dalam parlemen kufur, atau jabatan-jabatan kenegaraan kufur, sebagai tahapan untuk menuju sistem yang Islam.

Keempat, tadarruj, juga diartikan sebagai upaya untuk menerapkan hukum syari’at dan berdiam diri terhadap hukum-hukum kufur, dengan harapan semakin lama akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, hingga seluruh sistem berubah sesuai dengan syari’at Islam.

Alasan-Alasan Tadarruj
Sebagian kaum muslim yang berpendapat bahwa perubahan harus dilakukan secara bertahap mengajukan beberapa argumentasi sebagai berikut:

Pertama, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dan bertahap, tidak serentak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw dan para shahabat menjalankan dan mendakwahkan syari’atNya secara bertahap, bukan secara serentak. Atas dasar itu, tadarruj merupakan gagasan yang memiliki akar dalam ‘aqidah dan syari’at Islam.

Kedua, dalam penetapan hukum atas beberapa kasus, syara’ juga melakukannya secara bertahap. Contohnya: kasus pelarangan riba dan khamer. Mereka menyatakan bahwa pelarangan riba dan khamer dilakukan secara bertahap, bukan secara langsung. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa, dalam menerapkan aturan-aturan Allah SWT harus dilakukan secara bertahap, bukan serentak.

Inilah argumentasi-argumentasi yang diketengahkan oleh sebagian kaum muslim yang mengusung gagasan tadarruj.

Kritik Atas Tadarruj

Bantahan atas argumentasi-argumentasi di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, Benar, al-Qur’an memang diturunkan secara bertahap bukan serentak. Allah SWT menurunkan al-Qur’an sesuai dengan kejadian dan perkara yang terjadi agar semakin menguatkan hati kaum muslim. Allah SWT berfirman:

“Berkatalah orang-orang yang kafir, ‘Mengapa al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil.” (Qs. al-Furqân [25]: 32).

“Dan al-Qur’an telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 106).

Ayat yang diturunkan pertama kali berhubungan dengan masalah keimanan, surga dan neraka. Setelah itu, baru diturunkan ayat yang berbicara tentang halal dan haram. Akan tetapi, hal ini tidak boleh dipahami bahwa kaum muslim boleh melakukan tadarruj. Ayat-ayat di atas sama sekali tidak berhubungan dengan masalah tadarruj, atau bolehnya mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan ajaran yang lainnya dengan alasan tadarruj.

Kaum muslim di awal-awal Islam selalu mengikatkan dirinya dan menjalankan apa yang diturunkan kepada mereka secara sempurna, tidak secara bertahap. Mereka tidak pernah meninggalkan satupun hukum yang telah diturunkan kepada mereka. Ketika turun ayat tentang iman, mereka langsung menerapkan dan mengamalkannya secara sempurna. Begitu juga ketika turun ayat berhubungan dengan halal haram, para shahabat segera melaksanakan dan terikat dengan apa yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Ketika Allah SWT baru menurunkan lima ayat, mereka langsung mengerjakan lima ayat tersebut secara sempurna. Mereka segera mengerjakan secara serentak lima ayat yang telah diturunkan kepada mereka, bukan secara bertahap. Sebab, ayat yang baru turun kepada mereka hanya lima ayat. Sedangkan ayat-ayat yang lain belum diturunkan kepada mereka. Oleh karena itu, yang mesti dijalankan hanyalah ayat-ayat yang telah turun, bukan ayat yang belum turun. Walhasil, meskipun baru diturunkan lima ayat, namun lima ayat ini telah sempurna diturunkan dan diamalkan secara serentak oleh para shahabat. Ketika baru turun lima ayat, mereka tidak pernah mengerjakan dua ayat saja dan meninggalkan tiga ayat yang lain, dengan alasan tadarruj atau dengan alasan al-Qur’an diturunkan secara bertahap. Semua ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw dan para shahabat tidak pernah mengenal dan melakukan tadarruj.

Barangkali, para pengusung gagasan tadarruj mengkaitkan turunnya al-Qur’an yang bertahap dengan aplikasi hukum pada kondisi saat ini. Mereka berkesimpulan, “Karena al-Qur’an diturunkan secara bertahap, maka kaum muslim boleh mengaplikasikan hukum-hukumnya secara bertahap pula, sebagaimana cara diturunkannya al-Qur’an.” Akan tetapi, mereka juga memahami bahwa saat ini semua ayat telah sempurna diturunkan kepada kaum muslim secara sempurna. Mereka juga menyadari bahwa seluruh ketentuan Allah SWT harus dijalankan secara sempurna. Namun, karena kondisi yang sulit dan dengan alasan strategi perjuangan, mereka mulai menggagas ide tadarruj. Akibatnya, sebagian hukum boleh diaplikasikan terlebih dahulu, sedangkan yang lain tidak dengan alasan tadarruj.

Pemahaman semacam ini jelas-jelas salah dan bertentangan dengan syari’at Islam. Aplikasi hukum untuk saat ini sama sekali tidak berhubungan dengan dengan periode turunnya al-Qur’an. Sebab, semua ayat telah diturunkan secara sempurna. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk tidak menerapkan seluruh ketentuan Allah SWT, atau menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.

Kesimpulan di atas dibuktikan oleh perilaku para shahabat. Generasi awal Islam telah mengaplikasikan semua ayat yang diturunkan kepada mereka secara sempurna, bukan secara bertahap. Dengan kata lain, para shahabat tidak pernah melakukan tadarruj. Mereka melaksanakan semua hukum yang diturunkan kepada mereka secara sempurna. Para shahabat juga tidak pernah melibatkan diri dengan hukum-hukum kufur sebagai tahapan untuk melaksanakan hukum Islam secara sempurna. Mereka tidak pernah berkompromi atau mengadopsi hukum kufur dengan alasan tadarruj. Ini membuktikan bahwa para shahabat tidak pernah melakukan tadarruj

Tidak berbeda dengan kaum muslim saat ini. Ketentuan Allah telah diturunkan kepada mereka secara sempurna. Dalam kondisi semacam ini, secara syar’i, kita tidak boleh hanya melaksanakan sebagian hukum Islam dan meninggalkan hukum Islam yang lain dengan alasan tadarruj. Sebab, kaum muslim diperintahkan untuk melaksanakan seluruh ketentuan Allah SWT tanpa terkecuali. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.”

Imam an-Nasafi menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah SWT atau Islam. Kata “kâffah” adalah hâl dari dlamir “udkhulu”, dan bermakna “jamii’an”(menyeluruh).

Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa, lafadz “kâffah” merupakan hâl dari dlamir “mu’minîn”. Makna “kâffah” adalah “jamî’an”

Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah Saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka. Akan tetapi, permintaan orang-orang Yahudi itu ditolak dan dijawab dengan ayat tersebut di atas. Seandainya, tadarruj itu dibenarkan, tentunya Allah SWT dan RasulNya akan memenuhi permintaan orang-orang Yahudi itu. Semua ini membuktikan bahwa, Rasulullah Saw telah melarang dan menolak tadarruj.

Imam ath-Thabari menyatakan: “Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”

Tatkala hukum Allah telah sempurna diturunkan, maka aplikasi hukum hanya berhubungan dengan ahkâm taklîfiy dan ahkâm al-wadl’iy, jenis hukum, prinsip istitha’ah (kemampuan), dan pelaksana hukum (fâ’il).

Al-Ahkâm al-Taklifiy. ‘Ulama ushul fiqh selalu mengkaitkan perbuatan seorang mukallaf dengan ahkâm takliifiy. Ahkâm taklifiy adalah hukum-hukum syari’at yang telah dibebankan kepada mukallaf. Pada dasarnya, hukum taklifiy tidak ubahnya dengan ahkâm al-khamsah (hukum lima); yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Tatkala seseorang hendak mengerjakan perintah Allah, tentu ia harus memahami terlebih dahulu, status hukum perbuatan tersebut. Jika perbuatan itu berhukum wajib, maka perbuatan itu wajib dikerjakan. Bila status hukum atas perbuatan tersebut adalah sunnah, maka seorang muslim akan mendapatkan pahala jika mengerjakan dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Bila status hukum atas perbuatan itu mubah, maka ia boleh dikerjakan atau ditinggalkan, dan ia tidak mendapatkan balasan apapun tatkala mengerjakannya. Jika status hukum atas suatu perbuatan adalah makruh, maka ia lebih utama untuk ditinggalkan, meskipun jika dikerjakan ia tidak mendapatkan dosa. Jika status hukum atas perbuatan adalah haram, maka ia wajib ditinggalkan, dan siapa saja yang mengerjakannya akan mendapatkan siksa.

Atas dasar itu, jika seorang muslim tidak mengerjakan perbuatan yang berhukum sunah, mubah, dan makruh, bukan berarti ia telah meninggalkan perintah Allah; atau dikatakan ia telah menyimpang dari jalan Allah. Sebab, perbuatan-perbuatan semacam ini memang boleh untuk ditinggalkan atau dikerjakan. Akan tetapi, jika ia mengerjakan perbuatan haram, atau meninggalkan apa yang diwajibkan Allah SWT, maka ia telah menyimpang dan berhak mendapatkan siksa di sisi Allah SWT.

Walhasil, tatkala seorang muslim hendak mengerjakan perintah Allah, dirinya harus memahami status hukum atas perbuatan tersebut. Sebab, Rasulullah Saw telah bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan dan perbuatan itu tidak diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muttafaq ‘Alaihi].

Ahkâm al-Wadl’iy. Ahkâm al-wadl’iy adalah hukum-hukum atau perintah Allah SWT yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu hukum, atau berhubungan dengan kesempurnaan suatu hukum. Ahkâm al-wadl’iy mencakup enam perkara: sebab, syarat, mâni’, (al-shihah- al-buthlân – al-fâsid), ‘azimah, dan rukhshah.

Contohnya, sholat Dzuhur hukumnya adalah wajib. Namun, tatkala seseorang hendak mengerjakan sholat Dzuhur, maka dirinya harus memperhatikan sebab dimulainya sholat Dzuhur, yakni tergelincirnya matahari. Ia tidak boleh mengerjakan sholat Dzuhur sebelum tergelincirnya matahari. Sebab, tergelincirnya matahari menjadi sebab dilaksanakannya sholat Dzuhur. Contoh yang lain adalah ru’yatul hilal. Ru’yatul hilal merupakan sebab dimulainya puasa Ramadhan. Seseorang dilarang mengerjakan puasa Ramadhan sebelum datangnya sebab puasa Ramadhan, yakni ru’yatul hilal. Contoh lain tentang ahkâm al-wadl’iy adalah syarat. Contoh syarat adalah sebagai berikut; seseorang yang hendak membayar zakat, maka syarat-syarat harta yang akan dizakatinya harus telah sempurna. Misalnya, hartanya harus sudah senishab, haul, dan cukup umurnya. Selama syarat-syarat ini belum terpenuhi maka ia dilarang membayar zakat. Pasalnya, syarat-syarat penunaiannya belum memenuhi syarat.

Atas dasar itu, tatkala seorang muslim hendak melaksanakan perintah Allah SWT, ia harus selalu mengkaitkannya dengan ahkâm al-wadl’iy. Tatkala sebab dan syaratnya telah dipenuhi, maka ia wajib melaksanakan perbuatan tersebut. Sebaliknya, tatkala syarat dan sebabnya belum dipenuhi, maka ia dilarang mengerjakan perbuatan tersebut. Misalnya, seseorang tidak diperbolehkan membayar zakat, jika syarat-syaratnya belum terpenuhi. Seorang wanita dilarang mengerjakan sholat tatkala mendapatkan haidh (mâni’).

Akan tetapi, ahkâm al-wadl’iy tidak berhubungan sama sekali dengan masalah tadarruj. Sebab, hukum wadli’iy dan tadarruj merupakan dua pembahasan yang berbeda serta tidak berhubungan dan berkaitan sama sekali.

Jenis hukum. Ada hukum-hukum tertentu yang harus dijalankan berdasarkan tertib-tertib tertentu. Misalnya wudlu, sholat, haji, dakwah berjama’ah, dan lain-lain. Sholat adalah aktivitas yang terdiri dari rangkaian kegiatan. Rangkaian ini harus dijalankan secara tertib, dan teratur. Sholat harus dimulai dari niat, takbiratul ihram, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa dalam sholat ada tertib (tahapan) yang harus dilalui. Demikian juga dengan berdakwah secara berjama’ah. Dakwah berjam’ah melibatkan sejumlah proses yang harus dilalui secara teratur dan tertib (marhalah). Dakwah berjama’ah untuk mengubah masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat Islam, harus dilakukan sesuai dengan tertibnya, atau berdasarkan marhalah-marhalah tertentu. Misalnya, tatkala Rasulullah Saw masih di Mekah, beliau melakukan dakwah secara sembunyi-sumbunyi hingga datang perintah untuk menyampaikan dakwah secara terang-terangan. Sampai akhirnya, beliau Saw berhasil menegakkan kekuasaan Islam di Madinah, dan menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.

Akan tetapi, hukum-hukum semacam ini sama sekali tidak berhubungan dengan gagasan tadarruj; atau menjadi dalil bolehnya kaum muslim melakukan tadarruj. Sebab, dalam aplikasinya, hukum-hukum seperti ini memang mengenal tertib dan marhalah (fase). Sedangkan hukum-hukum yang tidak mengenal tertib dan fase harus dikerjakan apa adanya, sekaligus dan serentak, tanpa ada tahapan di dalamnya. Misalnya hukum riba. Keharaman riba telah ditetapkan berdasarkan nash-nash qath’i. Hukum riba harus diterapkan, tanpa ada tahapan maupun fase. Dengan kata lain, ketetapan terakhir adalah hukum yang wajib dikerjakan. Sedangkan ketetapan sebelumnya dihapus dan tidak boleh dikerjakan lagi. Jika suatu muamalat mengandung riba, secara otomatis muamalat tersebut dilarang. Seorang muslim tidak boleh menyatakan bahwa mengkonsumsi riba itu dibolehkan jika bank muamalatnya masih sedikit, atau masih kurang memadai. Sebab, hukum riba tidak dipengaruhi oleh kondisi maupun zaman. Riba tetap haram, meskipun bank muamalatnya telah banyak.

Istitha’ah (kemampuan). Allah SWT juga mengkaitkan pelaksanaan hukum dengan prinsip istitha’ah (kemampuan). Allah SWT berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dan dengarlah serta taatlah...” (Qs. ath-Thaghâbun [64]: 16).

Ayat ini menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa kewajiban untuk menjalankan perintah Allah SWT akan gugur, jika kita tidak memiliki kemampuan. Sebab, Allah SWT mengkaitkan pelaksanaan kewajiban dengan istitha’ah (kemampuan). Keterangan ini diperkuat dengan sabda Rasulullah Saw: “Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah apa yang kalian mampu.”

Atas dasar itu, apa yang tidak mampu kita kerjakan, maka kewajiban itu dengan sendirinya telah gugur. Contohnya adalah ibadah haji. Ibadah haji merupakan kewajiban setiap mukmin dan mukminat. Namun, bagi mereka yang tidak mampu, baik secara fisik dan finansial, diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadat tersebut. Begitu pula kewajiban zakat dan puasa. Zakat dan puasa hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk mengerjakannya. Orang sakit dan tua renta diberi keringanan untuk tidak mengerjakan ibadah puasa.

Konteks istitha’ah ini juga tidak berhubungan dengan masalah tadarruj. Sebab, Allah SWT memang mengkaitkan pelaksanaan suatu kewajiban dengan prinsip kemampuan (istitha’ah). Namun, prinsip istitha’ah ini tidak berhubungan sama sekali dengan gagasan tadarruj yang dikenalkan oleh para pengusungnya.

Pelaksana hukum. Prinsip pelaksanaan amal yang lain adalah “pelaksana hukum”. Ada hukum-hukum tertentu yang hanya dibebankan (dilaksanakan) oleh kaum laki-laki dan wanita. Misalnya kewajiban sholat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Ada pula kewajiban yang dibebankan hanya kepada laki-laki saja, misalnya kewajiban untuk menafkahi keluarga. Kadang-kadang ada hukum yang beban pelaksanaannya diberikan kepada wanita saja. Misalnya, kewajiban untuk mengenakan kerudung dan jilbab. Dua kewajiban ini hanya dibebankan kepada wanita saja, tidak kepada laki-laki.

Kadang-kadang ada hukum-hukum Islam yang beban pelaksanaannya diberikan kepada setiap individu kaum muslim. Misalnya, kewajiban mengerjakan sholat, zakat, puasa, haji, bermuamat secara Islamiy, dan lain sebagainya.

Ada pula hukum-hukum Islam yang beban pelaksanaannya dipikulkan kepada sekelompok orang atau jama’ah. Misalnya, kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar, serta dakwah untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah.

Ada pula hukum-hukum Islam yang pelaksanaannya disandarkan kepada penguasa. Artinya, hukum-hukum ini hanya boleh dilaksanakan oleh negara, bukan individu maupun jama’ah. Contohnya adalah pelaksanaan hudud, jinayat, dan ta’zir; mengatur urusan rakyat, mengangkat qadliy, wali dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini hanya boleh dilaksanakan oleh penguasa. Seorang individu dilarang bahkan diharamkan menjalankan kewajiban-kewajiban ini.

Prinsip semacam ini juga tidak berhubungan dengan gagasan tadarruj. Bahkan, ia tidak pernah dijadikan dalil oleh para pengusung gagasan tadarruj untuk membenarkan pendapatnya.

Demikianlah, kami telah menjelaskan kesalahan istinbath sebagian kaum muslim yang mengetengahkan gagasan tadarruj. Turunnya al-Qur’an secara berangsur sama sekali tidak menunjukkan adanya tadarruj, atau kebolehan kaum muslim melakukan perubahan secara bertahap sebagaimana pendapat pengusung gagasan tadarruj, yang terdiri dari sebagian kelompok dan partai Islam.

Turunnya al-Qur’an secara bertahap juga tidak boleh dijadikan dalil bolehnya kaum muslim menerapkan hukum kufur sebagai tahap untuk melaksanakan syari’at Islam secara sempurna. Contohnya, fatwa bolehnya kepala negara wanita dengan alasan bahwa ini merupakan satu tahapan untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah. Contoh yang lain adalah, mengangkat orang kafir menjadi anggota majelis umat —tanpa dibatasi kewenangannya— sebagai tahapan pertama untuk mendakwahi mereka agar masuk Islam. Tadarruj seperti ini jelas-jelas tidak memiliki akar dalam syari’at dan ‘aqidah Islam.

Untuk itu, kaum muslim mesti menolak gagasan tadarruj yang diusung oleh sebagian kaum muslim. Sebab, gagasan ini telah menyeret kaum muslim untuk mengerjakan apa yang tidak diperintahkan Allah SWT. Lebih dari itu, gagasan ini telah menjerumuskan kaum muslim ke dalam tindak melanggar apa yang diharamkan Allah SWT.

Adapun dalam konteks aplikasi hukum, maka seluruh hukum yang telah dibebankan kepada setiap individu muslim, wajib dijalankan oleh setiap kaum muslim tanpa pengecualian. Misalnya, sholat, zakat, puasa, nikah, dan lain sebagainya. Selama kita mampu melaksanakan hukum-hukum semacam ini —yang dibebankan kepada individu— maka kita mesti menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut tanpa ada pilihan lagi.

Jika aplikasi suatu hukum disandarkan kepada partai atau kelompok Islam, maka pelaksanaannya tergantung pada keberadaan partai atau jama’ah. Misalnya, kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Hukum-hukum ini tidak akan bisa diaplikasikan tanpa keberadaan sebuah jama’ah atau partai politik Islam. Sebab, kewajiban ini hanya bisa dipikul oleh kelompok atau gerakan Islam. Untuk itu, jika di tengah-tengah masyarakat belum ada sebuah partai politik Islam yang konsens memperjuangkan syari’at Islam, maka kaum muslim di wilayah itu wajib mendirikan sebuah jama’ah atau partai politik Islam yang mampu meraih tujuan-tujuannya.

Bila aplikasi suatu hukum digantungkan pada eksistensi negara, maka pelaksanaan hukum tersebut digantungkan kepada negara. Individu tidak boleh menerapkan hukum tersebut. Sebab, individu tidak berhak melaksanakan hukum tersebut. Contohnya adalah, memberikan sanksi hudud dan jinayat, pengaturan urusan publik, politik luar negeri, futuhat dan perang. Hukum-hukum semacam ini, aplikasinya digantungkan kepada eksistensi negara. Sebab, hanya negara yang berhak menerapkan hukum-hukum semacam ini.

Kedua, adapun mengenai kasus pelarangan khamer dan riba, maka siapa saja yang mengkaji masalah ini secara jernih dan mendalam akan berkesimpulan bahwa tidak ada tadarruj dalamnya. Lebih dari itu, kasus ini sama sekali tidak boleh digunakan sebagai dalil untuk membenarkan gagasan bathil semacam tadarruj.

Agar keraguan dalam masalah ini bisa tertepis, sudah seharusnya kita mengkaji ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum khamer.

Ayat-ayat yang menyinggung masalah khamer adalah sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat kepada manusia. Tetapi dosa keduanya lebih besar.” (Qs. al-Baqarah [2]: 219).

Ini adalah ayat pertama yang berbicara tentang khamer. Setelah itu, turunlah ayat kedua:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).

Sedangkan ayat terakhir yang menetapkan keharaman khamer secara tegas adalah firman Allah SWT: “Sesungguhnya khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilkah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 90).

Inilah ayat-ayat yang dijadikan dalil keharusan untuk melakukan perubahan secara berangsur-angsur (tadarruj).

Berdasarkan keseluruhan ayat ini para pengusung gagasan tadarruj berargumentasi bahwa, pada awalnya khamer diperbolehkan bagi kaum muslim berdasarkan ayat yang pertama. Selanjutnya, kebolehan khamer tersebut dipersempit; yakni larangan mengerjakan sholat dalam kondisi mabuk. Artinya, kaum muslim masih diperbolehkan minum khamer, akan tetapi mereka dilarang sholat dalam kondisi mabuk. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).

Setelah itu, turunlah ayat yang secara tegas mengharamkan khamer. Pengusung gagasan tadarruj menyatakan, bahwa khamer adalah penyakit masyarakat, sedangkan jalan untuk mengenyahkan penyakit ini dilakukan secara berangsur-angsur dan bertahap. Walhasil, kisah pelarangan khamer memberikan satu pelajaran bagi kaum muslim, agar dalam mengenyahkan penyakit masyarakat atau melakukan perubahan harus ditempuh secara bertahap, bukan secara serentak.

Inilah argumentasi ringkas yang dikemukakan oleh sebagian kaum muslim yang membolehkan tadarruj.

Adapun bantahan atas pendapat di atas adalah sebagai berikut.

Apabila ayat-ayat tadi diperhatikan dengan pandangan yang syar’i, maka tidak akan ditemukan tahapan apapun di dalam pengharaman khamer. Sebab, tidak ada hukum atas khamer sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya. Artinya, sebelum turun larangan atas khamer, status hukum khamer itu dibiarkan, atau maskût ‘anhu (didiamkan) hingga turunnya ayat yang ke tiga.

Pendiaman atas status hukum khamer ini bisa disimpulkan dari perkataan ‘Umar bin Khattab ra: “Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamer dengan penjelasan yang memuaskan, karena khamer itu menghabiskan harta dan menghilangkan akal.” Selanjutnya, turunlah firman Allah SWT: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi.” (Qs. al-Baqarah [2]: 219). ‘Umar lalu dipanggil, dan ayat tersebut dibacakan kepadanya, kemudian ia berkata: “Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamer dengan penjelasan yang memuaskan”, setelah itu turunlah ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).

‘Umar lalu dipanggil, dan ayat tersebut dibacakan kepadanya. ‘Umar pun berdoa kembali: “Wahai Allah, jelaskanlah kepada kami tentang hukum khamer dengan penjelasan yang memuaskan’. Kemudian turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 90).

‘Umar pun dipanggil dan ayat tersebut dibacakan kepadanya hingga ketika sampai pada bacaan: “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 91). ‘Umar lalu berkata: “Kami berhenti wahai Rabb, kami berhenti wahai Rabb.” [HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Abu Dâwud]

Dari riwayat ini kita bisa menyimpulkan bahwa, sebelum ada larangan yang tegas, hukum khamer didiamkan (maskut ‘anhu) meskipun para shahabat masih mengkonsumsi khamer. Akan tetapi, ‘Umar ra terus memohon agar Allah menjelaskan hukum khamer dengan penjelasan yang memuaskan, dimana sebelumnya didiamkan kebolehannya sebelum turunnya ayat yang pertama.

Beliau terus memohon meskipun telah diturunkan dua ayat yang pertama dan yang kedua. Hal itu menunjukkan bahwa khamer tetap dalam kebolehannya hingga turun ayat pengharaman khamer pada ayat yang ketiga.

Larangan yang terdapat pada ayat kedua difokuskan kepada sholat dalam keadaan mabuk, bukan ditujukan kepada keharaman khamer. Ayat tersebut berhubungan dengan sholat. Jika kita perhatikan secara lebih seksama terhadap fiqih ayat ini, maka ayat tersebut tidak melarang kaum muslim meminum khamer selain pada waktu sholat. Yang dilarang atas kaum Muslim adalah sholat dalam keadaan mabuk, sehingga mereka mengetahui apa yang mereka ucapkan. Seandainya —setelah turunnya ayat ini— tercium dari mulut seorang muslim bau khamer ketika dia sholat, atau dia membawa segentong khamer, atau telah meminum khamer dalam jumlah yang tidak sampai membuatnya mabuk, maka hal itu tidak apa-apa baginya (boleh saja).

Allah telah mencela khamer pada ayat yang pertama karena merugikan. Lalu, Allah melarang sholat dalam keadaan mabuk pada ayat yang kedua. Setelah itu Allah mengharamkan khamer pada ayat yang ketiga.

Hal ini sama sekali tidak menunjukkan adanya tahapan di dalam pengharaman khamer. Sebab, tak seorangpun menganggap khamer itu berhukum mubah setelah turunnya ayat pengharaman khamer (Qs. al-Mâ’idah [5]: 90-91), baik pada masa Rasulullah Saw maupun pada masa sahabat, atau pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tidak ada satu pun kitab-kitab fiqih yang dikarang oleh ulama-ulama besar dan para mujtahid umat ini yang membahas masalah tadarruj dalam kasus pengharaman khamer. Seandainya mereka mengenal gagasan tadarruj, tentunya mereka tidak akan berpegang pada ayat yang terakhir turun saja, akan tetapi tetap melaksanakan kandungan ayat sebelumnya dengan alasan tadarruj. Dengan kata lain, mereka tidak pernah menyatakan bahwa saat ini kaum muslim boleh meminum khamer, hingga tiba saatnya mereka siap untuk meninggalkan khamer. Sebab, hukum yang mesti kita pakai adalah hukum yang terkandung pada ayat yang terakhir turun saja. Sedangkan ayat-ayat sebelumnya tidak dipakai dan kandungannya tidak boleh diaplikasikan lagi dengan alasan tadarruj.

Bukti yang lain adalah kisah-kisah futuhat yang dilakukan oleh para shahabat. Tatkala, kaum muslim yang menaklukkan suatu negeri, mereka tidak mempedulikan ke-Islaman saudara-saudara mereka yang masih baru, dan tidak membiarkan mereka minum khamer melalui tahapan sebagaimana ‘tahapan’ yang telah dilewati dalam pengharaman khamer. Artinya, setelah turun ayat pelarangan khamer, para shahabat tidak pernah membolehkan kaum muslim meminum khamer dengan alasan pelarangan khamer itu dilakukan secara bertahap. Hukum terakhir adalah hukum yang ditegakkan, bukan hukum yang telah dihapus atau dianulir. Ini menunjukkan bahwa para shahabat tidak pernah mengenal gagasan tadarruj.

Padahal, kondisi saat itu sangat menuntut mereka untuk memberikan keringanan kepada saudara-saudaranya yang baru masuk Islam. Namun, para shahabat tetap melarang kaum muslim —meskipun baru masuk Islam— untuk meminum khamer. Ini menunjukkan bahwa, ketika mereka menerapkan hukum, mereka hanya berpatokan pada ayat yang terakhir turun, tidak melakukannya secara bertahap. Sebab, para ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah tadarruj.

Demikianlah, anda telah kami jelaskan dengan gamblang kesalahan proses istinbath dan dalil yang diketengahkan para penggagas tadarruj.

Sesungguhnya, tadarruj merupakan gagasan baru yang dipicu oleh keadaan sulit dan kerasnya situasi. Mereka berusaha menghadapi situasi dakwah yang sulit ini dengan cara menundukkan nash-nash syara’ di bawah keinginan dan kondisi yang sulit. Metodologi berfikir mereka menjadi terbalik. Mereka telah menetapkan tadarruj terlebih dahulu, baru kemudian dicarikan argumentasi syar’inya. Mereka beranggapan bahwa tadarruj adalah strategi yang paling mungkin. Namun mereka lupa, bahwa fakta bukanlah dalil syara’, namun obyek yang harus dihukumi.

Lebih ironis lagi, pengusung gagasan tadarruj telah menjadikan tadarruj sebagai metode berpikir yang sejatinya telah memporak-porandakan metode berfikir Islam yang suci dan bersih. Akibatnya, lahirlah pendapat-pendapat ganjil yang semakin mengaburkan kesucian dan kebenaran Islam. Benarlah sabda Rasulullah Saw: “Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang menjumpai perbedaan yang banyak, maka berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang menambah-nambah sesuatu yang baru (dalam masalah agama), karena yang demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah (tempatnya) di dalam neraka.” [HR. At-Tirmidzi & Abu Dâwud].

Seandainya tadarruj diperbolehkan, kita bisa mengajukan pertanyaan kepada para penggagas tadarruj: “Apakah kita boleh mengaplikasikan hukum-hukum yang yang telah dihapus dengan alasan tadarruj? Apakah saat ini kita boleh minum khamer sebagai tahapan untuk “meninggalkan khamer?”

Tentunya, orang yang beriman kepada Allah akan menjawab dengan tegas. Tidak! Alasannya, hukum pengharaman khamer adalah qath’i. Secara syar’i, kita tidak boleh merujuk kembali kepada hukum sebelumnya, dengan alasan tadarruj. Jika kita melaksanakan hukum sebelumnya —membolehkan meminum khamer—, kemudian secara bertahap baru diharamkan, berarti kita telah melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah SWT. Sebab, kita hanya diperintahkan untuk mengambil ketetapan hukum yang paling akhir, bukan hukum sebelumnya. Inilah pendapat yang dianut oleh orang-orang terdahulu dan kemudian.

Hukum khamer sekarang ini hanya satu, yakni haram, dan tidak akan pernah berubah dalam kondisi bagaimanapun. Siapa saja yang membolehkan meminum khamer dengan alasan tadarruj, sungguh ia telah keluar dari kelompok orang-orang beriman. Sebab, ia telah menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh Allah SWT.

Perubahan Harus Dimulai Dari Mengubah Negeri-Negeri Muslim, Kemudian Baru Membentuk Khilafah Islamiyyah?

Gagasan semacam ini merupakan turunan dari cara berfikir tadarruj. Akibatnya, mereka melupakan nash-nash syara’ sharih yang berbicara tentang strategi perubahan serta keharusan untuk hanya menegakkan sistem pemerintahan Islam — Khilafah Islamiyyah— tanpa melalui tahapan non syar’i. Mereka menetapkan strategi ini lebih karena mengacu kepada fakta dan kondisi yang ada, bukan berdasarkan pemikiran syar’i dan pertimbangan strategis yang mendalam dan matang.

Anehnya, mereka menyatakan bahwa strategi semacam ini lebih realistis dan mudah, daripada langsung menegakkan Khilafah Islamiyyah.

Padahal, menegakkan secara langsung Khilafah Islamiyyah merupakan strategi yang paling efisien, ampuh, dan memperpendek masa transisi reformasi. Dalam teori transformasi, ada sebuah adagium, “Apakah strategi yang diterapkan itu bisa memperpendek masa transisi reformasi atau malah memperpanjang.” Contohnya, ketika partai-partai Islam mengangkat Gus Dur sebagai presiden, mereka berharap akan terjadi proses transformasi. Sayangnya, pengangkatan Gus Dur malah memperpanjang masa transisi reformasi. Yang terjadi bukan transformasi atau perubahan, akan tetapi malah muncul problem baru yang harus direformasi. Begitu seterusnya, sampai-sampai tidak pernah terjadi proses reformasi. Begitu juga bila arah perjuangan diarahkan untuk menegakkan Daulah Islamiyyah di masing-masing negeri Islam. Perjuangan semacam ini, malah akan memperpanjang transisi reformasi, bukan memperpendeknya.

Walhasil, mengangkat pemimpin-pemimpin di negeri-negeri Islam merupakan langkah yang secara obyektif malah memperpanjang transisi reformasi, bukan malah memperpendek. Selain itu, kekuatan kaum muslim akan terpecah belah dalam berbagai nation yang justru memudahkan kapitalisme global untuk menguasai kaum muslim dan mengarahkan arah reformasi kaum muslim di setiap negeri Islam. Dalam kondisi seperti ini, kapitalisme global akan lebih mudah dalam mengontrol dan menghancurkan kekuatan kaum muslim yang telah tercerai berai itu.

Selain malah memperpanjang proses dan transisi reformasi, perjuangan untuk mengubah negeri-negeri Islam menjadi Daulah Islamiyyah, justru akan melanggengkan paham nasionalisme dan negara bangsa. Dalam kondisi seperti ini, sangat sulit rasanya melawan konspirasi internasional yang dilancarkan oleh AS dan sekutu-sekutunya. Jika kita menengok kembali sejarah kehancuran kaum muslim, senjata ampuh yang digunakan kaum kafir untuk menggerogoti Khilafah Islamiyyah dan eksistensi kaum muslim sebagai umat wahidah adalah nasionalisme. Untuk itu, strategi perubahan semacam ini —membentuk negara Islam baru kemudian Khilafah Islamiyyah— adalah strategi yang tidak efektif, bahkan akan semakin memperpanjang fase terbentuknya Khilafah Islamiyyah.

Benar, dalam tataran perjuangan atau aktivitas, maka dakwah harus dilakukan dimana kita berada. Ketika kita di Indonesia, maka konteks aktivitas kita adalah di Indonesia, bukan di Malaysia. Namun demikian, secara konsepsi perjuangan, di negeri ini juga harus diarahkan untuk menegakkan sistem pemerintahan yang syar’i yakni Khilafah Islamiyyah, bukan mendirikan “Daulah Islamiyyah”; atau negeri ini dipersiapkan untuk menyongsong tegaknya Khilafah Islamiyyah di negeri yang lain. Sebab, sistem ini (Daulah Islamiyyah) jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash sharih yang mengharuskan kaum muslim hidup di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah.

Dengan kata lain, pada tataran idealitas dan konsepsi, setiap gerakan Islam harus hanya mengusung ide-ide, dan strategi Islamiy ideal. Sedangkan dalam tataran praktis, setiap gerakan Islam harus memfokuskan aktivitasnya di tempat di mana ia tinggal. Yang tidak dibenarkan adalah, mengubah idealitas hanya karena kita berada di sebuah local tertentu, Indonesia misalnya. Contohnya, ada sebagian gerakan atau partai Islam yang tidak memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyyah, akan tetapi malah terlibat dalam sistem republik, dan berjuang untuk meraih kedudukan-kedudukan yang secara syar’i tidak dibenarkan, misalnya jabatan presiden, maupun anggota legislative.

Terakhir, gagasan untuk mengubah negeri-negeri Islam baru kemudian menegakkan Khilafah Internasional, adalah gagasan yang secara normative jelas-jelas melanggar ketentuan syara’. Gagasan ini sama saja telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan dengan alasan tadarruj. Padahal, bukankah sistem Khilafah merupakan sistem final yang telah ditetapkan oleh Rasulullah? Bukankah ketentuan akhir ini saja yang harusnya dianut dan diperjuangkan oleh kaum muslim? Bila gagasan tadarruj dibenarkan secara syar’i, lantas, apakah kita akan memperjuangkan sistem yang tidak Islamiy, sebagai tahapan menegakkan sistem Khilafah Islamiyyah? Jawabnya, tentu tidak! Sebab, jika kita membenarkan gagasan semacam ini, sama artinya kita telah membolehkan sesuatu yang jelas haram, dan melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, sama artinya kita telah mengiyakan gagasan tadarruj yang bathil itu.

Bukankah Rasulullah Saw telah menolak Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang mengajukan permintaan kepada Rasulullah Saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka? Bukankah ini merupakan dalil yang sangat sharih agar kita tidak menempuh jalan keharaman, dengan alasan tadarruj?

Perubahan Harus Dimulai Dari Individu, Keluarga, Masyarakat, Baru Negara?
Gagasan semacam ini tidak lepas dari metodologi berfikir tadarruj. Pengusung gagasan ini menganggap bahwa masyarakat itu tersusun dari individu. Atas dasar itu, mengubah masyarakat harus dimulai dari individu, keluarga, dan seterusnya.

Kesalahan dari gagasan ini terletak pada asumsi dasarnya. Sesungguhnya, asumsi bahwa masyarakat itu tersusun dari individu, dan perubahan masyarakat tergantung dari individunya, adalah asumsi yang salah. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun oleh individu, akan tetapi juga disusun oleh pemikiran, perasaaan, dan aturan. Bahkan, ketiga hal inilah yang akan menentukan perubahan masyarakat; bukan individunya. Lebih dari itu, perubahan perilaku individu juga ditentukan oleh perubahan pemikiran dan perasaannya. Atas dasar itu, perubahan apapun, baik individu dan masyarakat harus dimulai dari adanya perubahan pemikiran dan perasaannya.

Demikian juga mengenai perubahan masyarakat. Sebuah masyarakat tidak akan berubah sebelum pemikiran, perasaan dan aturan yang tumbuh di dalamnya berubah. Jika semesta pembicaraan kita adalah perubahan menuju masyarakat Islam, maka masyarakat kufur tidak akan berubah menjadi masyarakat Islam sebelum pemikiran dan aturan yang diterapkan berubah.

Meskipun individu-individunya seluruhnya beragama Islam, namun selama aturan yang diterapkan di dalamnya bukan aturan Islam, maka masyarakat itu tetap disebut masyarakat kufur. Bahkan, meskipun seluruh individunya memahami Islam dan tergerak untuk mengubah sistem tersebut, namun selama sistem aturannya tidak berubah maka masyarakat di dalamnya tidak disebut sebagai masyarakat Islam. Sebaliknya, walaupun mayoritas individu yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah kafir, akan tetapi selama aturan yang diberlakukan dan keamanan di negeri itu dijamin oleh kaum muslim, maka masyarakat itu tetap disebut sebagai masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan aturan dan pemikiran yang ada di dalamnya.

Dengan kata lain, perubahan masyarakat harus dilakukan dengan cara mengubah sistem aturan dan pemikiran mendasar yang dijadikan landasan oleh masyarakat tersebut. Di sisi yang lain, sebuah gerakan maupun partai tidak akan mampu mengubah seluruh individu yang ada di tengah-tengah masyarakat sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Keberagaman manusia dalam keyakinan, persepsi dan perilaku merupakan sunnatullah yang telah digariskan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja, akan tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu…” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 48).

Keadaan ini semakin memperkuat bahwa perubahan masyarakat tidak disandarkan pada perubahan individu-individunya, akan tetapi pada sistem aturan yang diberlakukan.

Benar, Rasulullah Saw berdakwah seorang diri, kemudian menghubungi para shahabat satu persatu. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah dakwah yang ditujukan untuk hanya mengubah individu-individunya saja, sehingga jika individu ini berubah maka keluarga dan masyarakat pun juga akan berubah. Pemahamannya tidaklah demikian. Sesungguhnya, individu-individu ini dipersiapkan oleh Rasulullah Saw untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat dengan jalan menyerang seluruh pemikiran, keyakinan dan aturan-aturan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jadi watak perubahan yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada para kadernya adalah perubahan yang bersifat sistemik, bukan individual.

Di samping itu, Rasulullah Saw juga mengutus para shahabat untuk menghubungi para pemimpin kabilah —sebagai representasi dari kekuatan masyarakat— dan menggalang dukungan dari mereka. Rasulullah Saw juga melakukan thalabun nushrah kepada para pemimpin kabilah Arab untuk diminta kekuasaannya. Kenyataan ini semakin membuktikan bahwa dakwah untuk mengubah masyarakat kufur tidak dilakukan dengan konsens pada perubahan individunya belaka. Lebih dari itu, perubahan masyarakat harus dilakukan dengan cara mengubah sistem aturan yang ada di dalamnya sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw. Sedangkan dakwah Rasulullah Saw, jelas-jelas menunjukkan bahwa beliau melakukan perubahan masyarakat dengan cara mengubah pemikiran, dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat dengan cara mendirikan kekuasaan Islam.

Sebuah kesalahan jika dakwah Rasulullah Saw difokuskan hanya untuk mengubah individu, sehingga secara otomatis ada perubahan keluarga dan masyarakat. Dakwah Rasulullah Saw tidak seperti itu. Dakwah beliau tetap konsens untuk menyerang pemikiran, aturan, keyakinan dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Sebab, pemikiran dan aturan adalah faktor utama penyusun masyarakat sekaligus penentu corak dari sebuah masyarakat.

Perubahan Harus Dimulai Dari Perubahan Akhlaq Dan Qalbu

Ini adalah gagasan dangkal dan premature dalam memahami proses perubahan masyarakat. Untuk menjawab gagasan ini, perlu kiranya kami mengemukakan sebuah tamsil yang paling mudah. Jika anda ditanya, bagaimana cara mengoperasikan dan memperbaiki pesawat terbang? Tentu anda tidak mungkin menjawabnya dengan jawaban, “Anda mesti jujur, berhati bersih, murah hati, atau berakhlaq mulia, hingga anda berhasil memperbaiki pesawat ini.” Tentunya anda akan menjawab, “Pesawat ini baru bisa diperbaiki dan dioperasikan jika anda telah mengerti sistem pengoperasian dan mekanisme perbaikannya.” Seandainya anda pemilik pesawat, kemudian anda disodori seorang pilot yang juga ahli teknisi pesawat, dan seorang pedagang yang terkenal memiliki akhlaq yang baik namun buta mengenai seluk beluk pesawat terbang, lantas mana yang akan anda pilih untuk memperbaiki pesawat terbang; dan mana yang anda anggap bisa menyelesaikan masalah? Tentunya, setiap orang bisa menjawab bahwa untuk menyelesaikan masalah ini dibutuhkan orang yang mengerti sistem pesawat dan pengoperasiannya, bukan orang yang berakhlaq baik. Bahkan, akhlaq dalam masalah ini tidak berhubungan dengan cara pengoperasian dan perbaikan pesawat.

Demikian pula jika pokok pembicaraan kita adalah perubahan sistem. Jika sistem masyarakat yang hendak kita ubah, maka arah perjuangan kita harus difokuskan kepada perubahan sistemnya (aturannya), bukan diarahkan kepada perubahan akhlaq maupun hati. Sebab, akhlaq dan qalbu adalah perkara yang bersifat individual, bukan sistemik.

Perubahan akhlaq dan hati (qalbun salim) tidak berhubungan sama sekali dengan perubahan warna masyarakat. Contohnya, masyarakat Hindu dan Budha terkenal memiliki nilai-nilai akhlaq dan hati yang baik (akhlaq dalam pengertian nilai-nilai universal). Bahkan, mereka sangat menjunjung nilai-nilai tersebut dan berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan. Akan tetapi, masyarakat mereka tetap disebut sebagai masyarakat kufur, meskipun akhlaq dan hati mereka terkenal baik. Masyarakat mereka tidak otomatis berubah menjadi masyarakat Islam, meskipun akhlaq dan qalbu mereka baik. Seandainya perubahan sistem harus dimulai dengan perubahan akhlaq dan hati, tentunya ketika akhlaq dan hatinya berubah, masyarakatnya juga ikut berubah.

Masyarakat di negeri-negeri Islam juga terkenal memiliki akhlaq dan qalbu yang sangat baik, akan tetapi masyarakat di negeri-negeri Islam, misalnya Iraq dan Iran, tetap saja tidak berubah statusnya menjadi masyarakat Islam. Ini disebabkan karena, sistem aturan yang diterapkan di negeri-negeri itu bukan hukum Islam. Akibatnya, masyarakat di Iraq dan Iran tidak bisa disebut masyarakat Islam.

Walhasil, dakwah mengubah masyarakat harus dimulai dengan cara mengubah pemikiran, perasaan dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat tersebut.

Namun demikian, bukan berarti kita mengabaikan atau menganggap remeh masalah akhlaq dan qalbu salim, akan tetapi kita hendak mendudukkan secara proporsional keduanya di dalam ranah yang sebenarnya. Bahkan, tidak disebut berakhlaq mulia dan berhati baik, ketika seseorang sibuk berdzikir, wirid, dan memberikan pengajian-pengajian qalbu, namun berdiam diri atau malah melibatkan diri dengan aturan-aturan kufur. Yang benar adalah, seorang muslim mesti memiliki akhlaq dan hati yang baik, yang tercermin dalam perilakunya; yakni menjalankan seluruh perintah Allah dan berjuang untuk membidas sistem kufur dan diganti dengan sistem Islam.

Demikianlah, anda telah kami jelaskan secara ringkas namun detail, gagasan-gagasan seputar perubahan yang mesti diubah. Sungguhnya, kemulyaan hanya milik Allah. Dialah yang akan memenangkan siapa saja yang teguh dalam membela kebenaran dan kebersihan diinNya dari unsur-unsur kekufuran, kefasikan dan kedzaliman.Allahu A’lam
[Oleh :Saif Ayatullah Ba’Abduh , "Kritik Terhadap Konsep Perubahan Bertahap (Tadarruj)"]

Photobucket

catatan-catatan

Video Streaming HTI

Kitab-kitab Gratis

Photobucket