Archives

gravatar

Lagu IMAN karya Ahmad Dhani

Bagi saya lagu ini sangat special banget, karena memang sarat dengan dakwah dan motifasi buat para pengemban dakwah...
mengingatkan pada kita bahwa ikhtiyar kita dalam dakwah jangan pernah surut meski seberat apapun tantangannya, sebesar apapun halangannya. karena ikhtiyar kita hanya sebuah bentuk usaha dan usaha itulah yang Alloh SWT nilai bukan HASIL, karena keberhasilan adalah hak prerogatif Alloh SWT.

maka selama kita berjalan di jalan Alloh SWT jangan pernah takut.  karena Alloh bersama kita, Alloh akan memenangkan kita yang memperjuangkan Agama-Nya, insya Alloh....

lagu kenangan Aksi Bela Islam 212

inilah lirik lagu:

IMAN

by: TRIAD / Ahmad Dhan

Bila kebatilan merajalela
Bila kebenaran sulit ditegakkan
Kita hanya melihat
Dan terus membiarkan
Pasti sampai saatnya
Balasan akan tiba

Dan kitalah Khalifah
Khalifah kebangkitan
Dan harus punya nyali
Menjunjung kebenaran
Hukum tumpul ke atas
Hanya tajam ke bawah
Bismillahi Tawakkal
Sampai saatnya mati

Tak ada Sang Kekuatan selain kekuatan dari Allah
Dan tak ada daya upaya selain pertolongan Allah

Kita harus berani
Berani karna benar
Dan harus punya nyali
Nyali untuk mati
Matinya orang-orang
Yang selalu berjalan
Di atas jalan Allah
Kekal selamanya

Tak ada Sang Kekuatan selain kekuatan dari Allah
Dan tak ada daya upaya selain pertolongan Allah

Firaun dan Raja Namrus akhirnya pun mampus
Kau lihat sang raksasa akhirnya pun binasa
Tanamkan dalam jiwa
Allah bersama kita
Dan ucapkanlah takbir
ALLAHU AKBAR

reff:
Tak ada satu Kekuatan selain kekuatan dari Allah
Dan tak ada daya upaya selain pertolongan Allah

.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Klarifikasi Ust Felix Siauw atas batalnya beliau orasi di Aksi Bela Palestina 1217

Narasi Tanpa Orasi
"Anak muda sekarang giliran kalian, ambil ini pangung, anak muda!" Ustadz Bachtiar Nasir menyemangati pemuda yang mendominasi #AksiBelaPalestina
"Ustadz Felix mana ustadz Felix sini". Saya kaget, tak menduga saya diminta orasi di panggung. Tapi jamaah sudah berteriak, "Ustadz Felix! Ustadz Felix", saya pun hampiri UBN
Komandan Nasional Kokam Mashuri membuka dengan ikrar, saya pun berdiri di panggung, mendampingi beliau. Bersiap sambil berpikir apa yang mau saya sampaikan
Tiba-tiba Kyai Cholil Nafis, MC aksi maju dan minta panggung disterilkan, semua mundur kecuali pembaca ikrar dan pemuda, termasuk saya tetap di tempat awal
Lalu datanglah Kyai Marsudi Syuhud, meminta saya mundur, disertai isyarat tangan sambil mendorong. "Antum mundur, kebelakang, mundur dulu", saya pun heran
Para asatidz banyak yang tak melihat, sebab mereka pun tampak sedang berdiskusi tentang acara. Para asatidz lain yang melihat, sambil marah menghampiri saya
Mereka tak tega saya diminta mundur dengan cara seperti itu. Mereka bahkan sepakat mengawal saya kembali ke panggung depan, saya tolak dengan halus
Saya coba merangkul dan meredakan beberapa asatidz, saya sampaikan "saya ridha, saya legowo". Lalu menyampaikan betapa acara ini disaksikan banyak mata
Bahwa #AksiBelaPalestina adalah pesan kita ke dunia tentang bersatunya kita membela saudara kita di sana, jangan sampai justru ada berita yang dinantikan musuh Islam
Yang saya tak tahan, ribuan massa meneriakkan nama saya terus menerus, haru. Saya tertunduk, tak mampu menatap mata mereka yang mengharap saya menyapa mereka
Massa tak mau reda walau MC terus mencoba mengendalikan, sampai UBN maju dan meredakan massa, barulah mereka mau mendengar, barulah acara bisa dilanjutkan
Demikian klarifikasi ini saya tulis, saya berkhusnudzann, bahwa Kyai Marsudi tentu punya pertimbangan matang, kita hormati. Yang penting persatuan semua terjaga, cukup
Yang Allah berikan lebih dari yang diambil dari kita. Persatuan, rasa cinta, rindu, Allah beri meski saya tak sempat menyapa. Narasi tanpa orasi. Alhamdulillah 'ala kulli haal!
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Khilafah itu baku dalam 4 (empat) perkara mendasar

Oleh: Ustadz Azizi Fathoni

1. Kedaulatan/Siyaadah (otoritas tertinggi dalam membuat hukum) di tangan syara'. Tidak boleh ada di dalamnya hukum yang dikreasi oleh manusia. Semuanya harus didasarkan kepada syariat atau bertendensikan kepada nash syara' melalui proses istinbath dan ijtihad syar'i.

2. Kekuasaan/Sulthaan (otoritas dalam memilih kholifah) di tangan umat (bukan rakyat). Karenanya orang kafir tidak punya hak pilih apalagi dipilih. Hanya saja mereka boleh hidup di bawah naungannya dengan akad dzimmah (yang dengan begitu mereka disebut Ahludz Dzimmah/Kafir Dzimmi) dengan dua syarat: membayar jizyah, dan tunduk terhadap syariat Islam.

3. Wajib satu khalifah untuk seluruh kaum muslimin di dunia. Tidak boleh lebih dari satu dan ini sudah merupakan ijma'. Ia berjuluk al Imam al A'zham (pemimpin ter-agung) karena tidak ada lagi pemimpin umat Islam di atasnya, dan tidak pula ada pemimpin yang selevel dengannya.

4. Khalifah punya hak mengadopsi hukum (bukan membuat hukum). Yaitu hukum syariat tertentu yang dibutuhkan demi pengurusan atau kemaslahatan umat Islam khususnya, dan seluruh warga khilafah umumnya.

Pertanyaannya:
Adakah sistem pemerintahan yang bisa mengakomodasi perkara-perkara baku ini selain bentuk pemerintahan yang dicontohkan Nabi dan dilanjutkan Khulafa` Rasyidun?
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

MENANTANG IDE KHILAFAH

Oleh Prof. Fahmi Amhar

Tulisan Prof. Moh Mahfud MD di harian Kompas edisi 26 Mei 2017 berjudul "Menolak Ide Khilafah" telah memulai sebuah diskursus tingkat elit intelektual di negeri ini. Kalau dulu diskursus ini ibaratnya hanya terjadi di antara para “prajurit” – bahkan “prajurit cyber”, maka kini para “senopati” sudah turun gelanggang.
Saya memahami kalau Prof. Mahfud mendapatkan pernyataan yang dirasakan “tidak cukup bermutu” dari seorang aktivis ormas Islam yang “nobody”. Bayangkan, seorang guru besar, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013, ditanya dengan nada marah dan merendahkan dari seseorang yang mungkin bahkan tidak hafal pembukaan UUD 1945.
Saya sendiri tidak merasa pantas untuk memberi komentar terhadap tulisan Prof. Mahfud tersebut. Namun sebagai anak bangsa, hak saya untuk berpendapat tentu saja dilindungi oleh konstitusi.
Saya bukan alumnus kampus-kampus yang dinilai Ketua Umum PB NU Said Agil Siradj tempat persemaian radikalisme. Saya S1 sampai S3 di Vienna University of Technology, Austria, sebuah negara demokratis di Eropa. Saya sepuluh tahun di sana. Sepertinya Austria negara yang sudah adil dan makmur, meski tidak mengenal Pancasila. Saya tidak belajar hukum secara khusus, melainkan hanya beberapa mata kuliah. Namun di tahun 1987 saya sudah mengenal tentang Constitutional Court, sesuatu yang saat itu belum pernah saya dengar di Indonesia. Saya juga ikut menyaksikan ketika tahun 1989-1991 negara-negara Blok Timur berubah dari komunis ke kapitalis. Dan saya juga menyaksikan bagaimana Austria melakukan referendum untuk bergabung ke Uni Eropa atau tidak.
Saya melihat, dalam sistem demokrasi, sistem di Austria berbeda dengan Jerman, Swiss atau Perancis, meski sama-sama Republik. Sistem demokrasi juga diterapkan di Inggris atau Belanda, meski mereka menganut monarki. Ini artinya, orang bisa sama-sama menerima demokrasi tanpa mempersoalkan “demokrasi yang seperti apa?”.
Pertanyaannya, mengapa untuk demokrasi kita bisa seperti itu, tetapi untuk sistem pemerintahan Islam - Khilafah - kita tidak bisa? Kenapa kita menolak ide khilafah dengan argumentasi tidak ada bentuk yang baku, khususnya cara suksesi kepemimpinan? Sebenarnya kita bisa lebih arif, setidaknya menantang diskusi bahwa ide khilafah adalah sebuah alternatif dari suatu kemungkinan kebuntuan politik.
Dalam sejarahnya, Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pernah berubah-ubah. Tak sampai tiga bulan setelahnya, yakni pada 14 November 1945, Presiden Soekarno sudah mengubah sistem presidensil menjadi parlementer. Pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Indonesia berubah menjadi negara federal (RIS). Lalu tahun 1950 kembali ke NKRI dengan UUDS-1950 yang bunyi sila-sila dari Pancasila sangat berbeda. Pasca dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD-1945 tetapi masih mengakui Partai Komunis Indonesia (PKI). Inti dari sejarah ini, saya bertanya-tanya: benarkah dulu para pendiri bangsa menganggap UUD1945 itu adalah final? Kalau final, kenapa disisakan sebuah pasal 37 yang memungkinkan UUD1945 diubah? Kalau benar wilayah NKRI itu final, mengapa tahun 1976 kita menerima Timor Timur berintegrasi, lalu tahun 1999 kita lepas lagi? Kalau konstitusi NKRI itu final, mengapa pasca reformasi kita amandemen berkali-kali?
Oleh karena itu, kalau kita menuduh kelompok pro-khilafah itu radikal dan telah “terindoktrinasi” atau boleh juga “tercuci-otaknya”, tidakkah jangan-jangan kita juga tercuci otaknya dengan jargon “NKRI harga mati”?
Karena tinggal di Eropa yang sangat demokratis (bahkan agak liberal), sejak akhir 1980-an, saya cukup bebas mengenal berbagai ideologi di dunia. Buku “Das Kapital” – Karl Marx misalnya, saya baca pertama kali di Austria, karena di Indonesia dilarang. Di Austria, buku-buku komunisme sama bebasnya dengan buku-buku anti komunis. Pada masyarakat mereka yang maju, komunisme tidak dianggap ancaman. Partai Komunis Austria ada, tetapi tak pernah meraih kursi dalam pemilu.
Waktu itu, belum ada internet, namun bacaan-bacaan yang bebas itu bahkan mampu menembus tirai besi di negara-negara komunis, yang di sana cuma ada satu koran, satu radio, satu televisi dan satu partai, yang semuanya komunis. Dunia akhirnya menyaksikan keruntuhan adidaya komunies Uni Soviet tahun 1991.
Karena itu, tak heran di Austria juga saya mengenal berbagai gerakan Islam, termasuk di antaranya yang memperjuangkan suatu negara Islam global, khilafah. Untuk orang-orang di negara adil makmur seperti Austria, dakwah memerlukan rasionalitas yang sangat kuat. Mereka tidak bisa menjual perlawanan kepada otoritas publik yang sudah melayani rakyat dengan baik. Mereka juga tak bisa menjual dogma pada masyarakat yang sudah berpikir sangat rasional. Bahkan soal iman pun tidak bisa mengandalkan warisan seperti ditulis oleh ananda kita Afi Nihaya. Faktanya, gender, suku, ras, kelas sosial bisa diwariskan, tetapi jutaan warga Eropa mencari dan menemukan sendiri agamanya dengan bekal akal sehat karunia Tuhan pada mereka.
Oleh karena itu, ide khilafah perlu untuk ditantang dengan lebih arif secara akademis. Sama kalau dalam pelajaran sekolah kita memberi tahu anak-anak kita tentang sistem kerajaan vs sistem republik, demokrasi vs diktatur, kenapa kita keberatan, bahkan ketakutan untuk memperkenalkan sistem khilafah, yang diklaim bukan kerajaan, bukan republik, bukan demokrasi dan juga bukan diktatur? Lantas mahluk apakah ini?
Sependek yang saya tahu, inti dari sistem khilafah itu bukan model suksesi seperti yang Prof. Mahfud katakan sebagai “tidak baku” dan “ijtihadiyah”. Adanya berbagai varian suksesi – yang semua tidak diingkari oleh para shahabat Nabi radhiyallah anhuma – justru menunjukkan keunikan sistem ini. Orang yang akan dibai’at sebagai khalifah boleh dipilih dengan permusyawaratan perwakilan (seperti kasus Abu Bakar), dinominasikan pejabat sebelumnya (seperti kasus Umar, yang kemudian disalahgunakan oleh berbagai dinasti kekhilafahan), dipilih langsung (seperti kasus Utsman), atau otomatis menjabat (seperti kasus Ali, karena dia saat itu seperti wakil khalifah). Semua ini bisa dilakukan, dan bisa mencegah terjadinya krisis konstitusi, yaitu suatu kebuntuan ketika presiden sebelumnya sudah habis masa jabatannya, dan presiden yang baru belum definitif.
Itu baru sebuah contoh. Memang yang saya lihat selama ini ada jurang komunikasi antara pakar tata negara seperti Prof. Mahfud dengan gerakan pro khilafah seperti HTI. Bahkan terma “demokrasi” saja didefinisikan dan dimengerti secara berbeda. Bagi HTI, sejauh yang saya tahu, demokrasi itu bukan sekedar prosedural seperti kebebasan bersuara, berserikat, adanya partai-partai politik, pemilu dan parlemen. Tetapi demokrasi adalah ketika suara rakyat bisa di atas suara Tuhan, ketika hawa nafsu rakyat bisa mengalahkan dalil halal-haram kitab suci. Inilah demokrasi di Eropa yang bisa melegalkan nikah sesama jenis, atau melarang jilbab di ruang publik.
Pancasila dalam redaksi saat ini, tidak menyebut demokrasi, tetapi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sila ini dimaknai berbeda pada era Orde Lama, Orde Baru atau Reformasi. Demikian juga ekonomi Pancasila, ada aneka tafsir yang bertolakbelakang antara ekonomi terpimpin ala Orde Lama, ekonomi kapitalis ala Orde Baru, dan ekonomi neoliberal ala Reformasi. Bukankah di sini sama tidak jelasnya dengan ide khilafah menurut Prof. Mahfud ? Oleh karena itu, menurut saya, khilafah sebagai ide sah-sah saja ditantang dalam meja diskusi dengan pikiran dingin dalam rangka mendapatkan solusi kehidupan berbangsa.
Penulis merupakan Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie-IABIE. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan pendapat IABIE.
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

"Khilafah tidak punya bentuk baku", ini menyalahi nash dan logika

Saya ingin menanggapi siapa saja yg mengatakan, Khilafah tdk punya bentuk baku. Ini menyalahi nash dan logika.
#KhilafahAjaranIslam

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman

1- Istilah "Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah" itu sendiri dari Nabi [HR. Ahmad]. Makna, "Ala Minhaj Nubuwwah" itu artinya Khilafah yang dijalankan para sahabat adalah copy paste dari Nabi, bukan bikinan sahabat. Sahabat tinggal melanjutkan negara dan sistem yang dibangun Nabi.

2- Nabi menjalankan negara, sebagai kepala Negara Islam pertama, dengan ibukotanya Madinah, selama 10 tahun. Selain ada kepala negara, ada wazir [pembantu kepala negara], yaitu Abu Bakar dan 'Umar [HR. Hakim].

3- Karena Negara Islam zaman Nabi meliputi Jazirah Arab [Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain dan Qatar], maka Nabi pun mengangkat sejumlah wali [kepala daerah]. Mu'adz di Janad, Ziyad di Yaman, Abu Musa di Zabid dan 'Aden.

4- Nabi juga mempunyai pasukan perang yang terlatih. Nabi terkadang memimpin sendiri peperangan [27 kali]. Di zamannya, tidak kurang 79 kali perang besar [ma'rakah], dan perang kecil [sariyyah]. Semuanya ada Panglima Perangnya.

5- Mengenai Majelis Syura [Majelis Umat], di zaman Nabi saw. juga sudah ada. Mereka terdiri dari Abu Bakar, 'Umar, Hamzah, 'Ali, Salman Al-farisi, Hudzaifah al-Yaman.

6- Urusan administrasi [pencatatan], pada zaman Nabi sudah ada para pencatat urusan: (1) Wahyu, seperti Zaid bin Tsabit; (2) Penjaga rahasia Nabi [Shahib Sirr an-Nabi], yaitu 'Abdullah bin Mas'ud, dll.

7- Negara Nabi saw, dan Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah, berbentuk Negara Kesatuan, karena wilayahnya satu, hukum yang diterapkan juga satu, yaitu hukum Islam, diterapkan di seluruh wilayah. Nabi menyatakan, "Jika dibai'at dua khalifah, bunuhlah yang terakhir" [HR Muslim]

8- Negara Nabi, dan Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah, juga bukan sistem Monarchi, Absolut maupun Parlementer. Bukan pula Repulik, Presidensil maupun Parlementer. Nabi dan para Khulafa' Rasyidin bukan Raja, Perdana Menteri, atau Presiden. Tapi, kepala Negara Islam yang khas.

9- Jika Nabi mengajarkan shalat lalu bersabda, "Shallu kama raitumuni ushalli", setelah itu para sahabat mengcopy paste tatacara shalat Nabi. Tatacara itu diajarkan semasa Nabi hidup, begitu pula dlm menjalankan negara. Tidak kurang selama 10 tahun sejak di Madinah hingga wafat.

10- Ketika Nabi saw. wafat, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah untuk memilih siapa yang akan menggantikan Nabi saw. dalam mengurus urusan negara dan umatnya. Mereka berselisih soal siapa yang lebih pantas, bukan wajib atau tidak adanya Khalifah?

11- Setelah Abu Bakar terpilih secara aklamasi, maka Abu Bakar pun dibai'at menjadi Khalifah, pengganti Nabi dalam mengurus negara. Beliau dibai'at di Masjid Nabawi. Bai'at ini juga menjadi metode baku dalam pengangkatan Khalifah, meski teknisnya bisa berbeda. Ini teknis.

12- Sebelum Abu Bakar wafat, beliau melakukan survei kepada penduduk Madinah, siapakah yang layak menggantikan dirinya. Muncullah nama 'Umar dan 'Ali. Maka, Abu Bakar pun menunjuk 'Umar. Ini teknis, bukan metode. Metodenya tetap bai'at. 'Umar pun dibai'at menjadi Khalifah.

13- Menjelang wafat, 'Umar menunjuk formatur untuk memilih Khalifah yang akan menggantikannya. Ini juga bukan metode, tetapi teknis. Metodenya tetap, bai'at. Karena itu, setelah 'Utsman terpilih melalui formatur, beliau pun dibai'at menjadi Khalifah.

14- Bahkan, ketika Sayyidina 'Ali dan Hasan bin Ali menjadi Khalifah, keduanya juga dibai'at. Sampai akhirnya, masing-masing menjadi Khalifah. Begitulah, sistem ini dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat, diwariskan turun temurun. Jadi, Khilafah ini bukan buatan ulama'.

15- Bukti bahwa negara ini mempunyai bentuk baku, sistemnya jelas, adalah keteraturan dan capaian yang dihasilkan selama 10 tahun zaman Nabi, dan 30 tahun zaman Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah. Kalau tidak ada bentuk baku dan sistemnya, pasti amburadul. Sekarang saja amburadul.

16- Bukti, bahwa negara ini bukan buatan ulama', kitab yang mengulas tentang negara, yang paling tua adalah kitab al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis oleh Ibn Qutaibah [w 276 H]. Ditulis abad ke-3 H. Artinya, 241 tahun setelah Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah.

17- Bahkan, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, baru ditulis oleh Imam al-Mawardi [w. 450 H], oleh al-Farra' [w. 458 H], pada abad ke-5 H. Itu pun ditulis di era kemunduran Khilafah 'Abbasiyyah, agar umat paham tatakelola negara menurut syariah. Karena umat sudah agar rabun.

18- Kitab-kitab yang ditulis para ulama' di zaman itu, bersifat komplementer, karena sistemnya sudah berjalan. Kitab-kitab ini ditulis untuk meluruskan kembali kebengkokan dan kesalahan dalam menerapkan Islam. Karena itu, apa yang ditulis oleh Imam al-Mawardi bukan rekaan beliau.

Karena itu, siapapun yang menyatakan, bahwa Khilafah tidak mempunyai bentuk baku, jelas menyalahi nash, baik al-Qur'an, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat. Juga menyalahi logika, sebagaimana yang diuraikan di atas. Wallahu a'lam.

sumber: tweeter
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

CACAT EPISTEMOLOGIS DALAM ISTILAH “SISTEM BAKU KHILAFAH” PROF. MAHFUD MD

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI

(Pimpinan Pesantren Hamfara Jogjakarta; Anggota Komisi Fatwa MUI Propinsi DIY; Mahasiswa Doktoral Prodi Dirasah Islamiyah UIN Sunan Ampel Surabaya)

Sudah tersebar luas tantangan Prof. Mahfud MD via akun twitter beliau agar para penyeru khilafah menunjukkan sistem baku Khilafah. Prof. Mahfud MD menulis di akun twitter-nya,”Kalau mereka bisa menunjukkan sistem baku khilafah dari Qur`an dan Hadits maka saya akan langsung mempejuangkan khilafah bersama mereka. Ayo.” Dalam tweet beliau yang lain,”Sy bilang, ayo siapa yg bs tunjukkan sistem khilafah yg baku saya akan jd pengikutnya. Tapi tdk pernah ada, tuh.”

Istilah “sistem baku” nampaknya menjadi satu terminologi kunci (keyword) dalam pernyataan Prof Mahfud MD di atas. “Sistem yang baku” secara etimologis dapat dimaknai sebagai sistem yang pokok dan utama, atau sistem yang menjadi tolok ukur, atau sistem yang standar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata baku diartikan sebagai berikut; 1. Pokok; utama; 2. Tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas dan kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. (Lihat : https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/baku.html, diakses 9 Desember 2017, pukul 01.35 WIB).

Maka dari itu, “sistem khilafah yang baku” kurang lebih dapat diartikan sebagai sistem khilafah yang standar yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Dengan demikian, mafhum mukhalafah-nya (pengertian sebaliknya), jika dalam sistem khilafah terdapat suatu hukum atau opini yang tidak standar, atau tidak disepakati, yakni terdapat khilafiyah alias beberapa versi hukum atau opini dalam sistem khilafah, maka sistem khilafah itu dikatakan tidak baku.

Jika memang benar demikian yang dimaksud Prof. Mahfud MD dengan istilah “sistem baku khilafah”, maka memang benar seperti yang disimpulkan sendiri oleh Prof. Mahfud MD, bahwa sistem khilafah yang baku ”...tidak pernah ada, tuh.” Sebab siapapun yang mengkaji fiqih khilafah secara detail, pasti akan menjumpai banyak hukum atau opini yang khilafiyah alias tidak baku. Sebagai contoh, persyaratan seorang khalifah apakah dia harus orang Quraisy atau tidak, ada khilafiyah di sini. Jumhur ulama mewajibkan khalifah harus orang Quraisy. Sementara sebagian ulama, seperti Qadhi Abu Bakar Al Baqilani, Ibnu Khaldun, dan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, tidak mewajibkan khalifah dari suku Quraisy. Identitas Quraisy bagi khalifah hanya dianggap sebagai keutamaan (afdhaliyah) saja, bukan kewajiban. (Lihat Muqaddimah Ibnu Khaldun, III/527; Fathul Bari, XVI/237).

Contoh lain, persoalan apakah khilafah harus tunggal (satu) untuk seluruh dunia atau tidak, yaitu boleh berbilang (ta’addud) alias lebih dari satu, juga ada khilafiyah di sini sehingga tidak baku. Ada dua versi pendapat ulama dalam masalah ini. Jumhur ulama seperti imam mazhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, mewajibkan khilafah yang tunggal untuk seluruh dunia. Sementara sebagian ulama, seperti Imam Abu Ishaq Al Isfarayini, Abdul Qahir Al Baghdadi, dan Imam Al Haramain (Al Juwaini) berpendapat boleh-boleh saja ada lebih dari satu khilafah untuk seluruh dunia. (Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, Kuwait : Darul Buhuts Al ‘Ilmiyah, 1980, hlm. 314).

Dari contoh di atas, jelaslah bahwa sistem khilafah yang baku, memang tidak ada. Prof. Mahfud MD dalam hal ini benar. Karena faktanya memang terdapat beberapa versi pendapat dalam cabang-cabang hukum dalam pembahasan khilafah. Tapi pertanyaan kritisnya adalah, apakah ketika sistem khilafah yang baku itu tidak ada, kemudian khilafah itu tidak wajib secara syar’i? Apakah adanya perbedaan pendapat dalam cabang-cabang hukum khilafah itu artinya khilafah hanya berstatus mubah (boleh) saja, sehingga boleh saja khilafah ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemerintahan yang lain, semisal sistem republik?

Sesungguhnya, jika penalaran Prof. Mahfud MD tentang “sistem yang baku” itu diikuti, niscaya akan gugurlah banyak kewajiban syar’i yang ada dalam ajaran Islam. Karena adanya khilafiyah tentu tidak hanya ada dalam pembahasan khilafah, tapi juga ada dalam pembahasan bab-bab fiqih yang lain, seperti wudhu, sholat, puasa, haji, dan sebagainya. Dalam wudhu, misalnya ada perbedaan pendapat ulama mengenai apakah menyentuh perempuan membatalkan wudhu atau tidak. Mengikuti logika Prof. Mahfud MD, berarti wudhu itu tidak baku. Dalam sholat Shubuh, ada yang membaca Qunut, ada yang tidak. Artinya, menurut logika Prof. Mahfud MD, sholat Shubuh tidak baku. Dalam puasa Ramadhan, Imam Malik mencukupkan niat satu kali untuk seluruh bulan Ramadhan, sementara jumhur ulama mewajibkan niat untuk setiap hari pada bulan Ramadhan. Maka mengikuti penalaran Prof. Mahfud MD, puasa Ramadhan tidak baku. Dalam haji, mazhab Syafi’i dan Maliki membolehkan wanita yang berangkat haji meski tanpa disertai mahram atau suaminya. Sedang mazhab Hanafi dan Hambali, wanita wajib disertai mahram atau suami. Walhasil, kalau menuruti Prof. Mahfud MD, haji tidak baku.

Nah, jika wudhu, sholat, puasa, dan haji itu tidak baku, lantaran banyak khilafiyah dalam cabang-cabang hukumnya, maka menurut penalaran Prof. Mahfud MD, berarti wudhu, sholat, puasa, dan haji hukumnya tidak wajib semuanya, atau mungkin hukumnya mubah (boleh) dan boleh diganti sendiri oleh manusia dengan tatacara ibadah lain bikinan manusia sendiri. Tapi apakah memang Prof. Mahfud MD memang ingin menggugurkan atau bahkan menghapuskan kewajiban wudhu, sholat, puasa, dan haji dari agama Islam?  Tentunya jawabannya adalah negatif. Tidaklah mungkin Prof. Mahfud MD akan berani dan lancang menggugurkan kewajiban wudhu, sholat, puasa, dan haji, dengan dalih tidak ada sistem yang baku untuk masing-masingnya.
           
Dari sinilah nampak ada cacat atau kejanggalan dalam konstruksi argumen Prof. Mahfud MD yang menggunakan kata kunci “sistem baku khilafah”. Jika ditelusuri secara mendalam cara berpikir Prof. Mahfud MD, kecacatan argumen itu nampak dalam aspek epistemologisnya. Prof. Mahfud MD menggunakan logika silogisme, padahal seharusnya kalau bicara hukum Islam menggunakan pendekatan penalaran ushul fiqih. Di sinilah cacat epistemologis yang ada dalam penalaran Prof. Mahfud MD mengenai istilah “sistem baku khilafah”.

Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat ilmu yang bicara mengenai asal usul (source) dari suatu pengetahuan dan bagaimana metode (method) yang dipakai untuk menemukan suatu pengetahuan. Jika bicara hukum Islam, misalnya untuk menentukan status suatu perbuatan apakah ia wajib, atau sunnah, atau mubah, maka penalaran yang digunakan, yaitu proses istinbath (penyimpulan) hukum dari sumber hukumnya, semestinya menggunakan penalaran ushul fiqih. Inilah epistemologi yang benar, bukan menggunakan logika sebagaimana Prof. Mahfud MD.

 Dalam istilah “sistem baku khilafah”, nampaknya Prof. Mahfud MD menggunakan salah satu cara inferensi (penarikan kesimpulan) yang ada dalam ilmu logika (manthiq), yaitu silogisme. Premis mayor (muqaddimah kubra) yang ada adalah : segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. Sedang premis minor (muqaddimah shughra)-nya : khilafah tidak baku. Maka kesimpulan (conclusion, natijah) yang diperolah adalah : sistem khilafah tidaklah wajib. Demikianlah kira-kira proses penalaran yang digunakan Prof. Mahfud MD.

Sebenarnya, penggunaan logika (termasuk silogisme) tidaklah selalu salah. Penggunaan logika termasuk silogisme boleh-boleh saja, tetapi ada syaratnya. Syekh Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) dalam kitabnya At Tafkiir (1973 : 13-14) menerangkan bahwa penggunaan logika disyaratkan premisnya haruslah berupa suatu proposisi yang diyakini kebenarannya atau harus merupakan suatu realitas yang terindera (al waqi’ al mahsuus). Jika tidak memenuhi syarat ini, maka suatu penalaran dengan logika akan dapat menimbulkan kesalahan penalaran atau kesesatan (qaabiliyah al dhalaal), dan bahkan dapat menimbulkan kontradiksi (at tanaaqudh) dalam satu persoalan. Sebagai contoh, dalam persoalan apakah Al Qur`an itu makhluk atau kalamullah, bisa jadi seseorang berargumen begini, premis mayor : Al Qur`an itu adalah kalamullah. Premis minornya : kalamullah itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk). Kesimpulannya, Al Quran itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk). Pada saat yang sama, orang lain dapat pula menggunakan cara penalaran logika yang sama, tapi kesimpulannya dapat sangat bertolak belakang. Premis mayornya: Al Qur`an itu berbahasa Arab. Premis minornya : bahasa Arab itu sesuatu yang baru (hadits). Kesimpulannya, Al Qur`an adalah sesuatu yang baru (hadits) alias makhluk. (Taqiyuddin An Nabhani, At Tafkiir, hlm. 13-14).
       
Kembali pada logika yang digunakan Prof. Mahfud MD. Nampak jelas bahwa logika yang digunakan Prof. Mahduf MD ternyata menggunakan premis yang salah, yaitu premis mayornya yang berbunyi : segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. Inilah sumber masalahnya. Premis ini sudah dijelaskan kecacatannya di atas. Bisa kita uji premis mayor itu dengan bertanya, apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah wudhu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah sholat yang tidak baku lalu hukumnya tidak wajib? Apakah haji yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Tidak demikian, bukan? Nah, pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk khilafah, apakah khilafah yang tidak baku berarti tidak wajib?

Dalam epistemologi hukum Islam, wajib atau tidak wajibnya suatu hukum tidaklah dilihat dari segi apakah sistem bakunya ada atau tidak ada, tetapi dilihat apakah amr (perintah) atau thalabul fi’li (tuntutan untuk berbuat) yang terdapat dalam suatu dalil (ayat Al Qur`an atau Hadits), apakah disertai indikasi (qariinah) yang menunjukkan kewajiban atau tidak. Jika amr atau thalabul fi’li yang ada disertai dengan qariinah (indikasi) yang menunjukkan wajib, misalnya ada kecaman atau celaan yang keras bagi yang meninggalkannya, berarti amr atau thalabul fi’li itu statusnya wajib. Jika tidak ada kecaman yang keras, status amr itu mungkin bisa sunnah atau mubah, bergantung pada qariinah-nya. (Taqiyuddin An Nabhani. Al Syakhshiyah Al Islamiyah, III/39).

Sebagai contoh, ayat Al Qur`an menunjukkan ada amr atau thalabul fi’li untuk melakukan sholat,”Aqiimush sholaata wa aatuz zakaata warka’uu maa’r raaki’iin” yang berarti,”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'" (QS Al Baqarah [2] : 43). Ternyata amr untuk melakukan sholat ini disertai qariinah (indikasi petunjuk) berupa kecaman keras untuk orang yang meninggalkan sholat, yang berarti sholat itu wajib hukumnya. Misalnya firman Allah SWT yang berbunyi,”Maa salakakum fii saqar, qaaluu lam naku minal musholliin,” yang artinya,"(Malaikat penjaga neraka bertanya),’
Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43).

Inilah cara penalaran yang benar dalam proses istinbath hukum, yakni dengan menggunakan pendekatan ushul fiqih. Jadi, suatu hukum berstatus wajib atau tidak wajib, dilihat oleh seorang mujtahid dari segi amr yang ada, kemudian dilihat qariinah-qariinah yang ada, lalu ditarik kesimpulan hukum syara’-nya.

Penalaran tersebut sangat berbeda dengan pendekatan manthiq (logika) yang semestinya tidak digunakan dalam hukum Islam. Orang yang semata menggunakan logika, boleh jadi hanya akan menilai suatu ketentuan hukum itu baku atau tidak baku. Kalau baku, hukumnya wajib, sedang kalau tidak baku, berarti tidak wajib. Dengan penalaran yang demikian, orang ini dapat saja menyimpulkan sholat itu tidak wajib. Mengapa? Karena dia akan mendapatkan bahwa tatacara sholat ternyata tidak baku. Misalnya ada yang sholatnya pakai Qunut ada yang tidak Qunut. Ada yang menganggap tumakninah sebagai rukun sholat, ada yang tidak menganggap tumakninah sebagai rukun sholat (mazhab Hanafi). Ada yang menganggap membaca Al Fatihah itu rukun sholat, ada yang mengatakan yang rukun hanyalah membaca Al Qur`an (mazhab Hanafi). Lalu dia dengan gegabah akhirnya menyimpulkan, “Oh ternyata sholat itu tatacaranya tidak baku ya, kalau begitu berarti sholat itu hukumnya tidak wajib.” Jelas ini adalah kesimpulan yang sesat dan jauh dari kebenaran. Astaghfirullahal ‘azhiem, na’uuzhu billahi min dzaalik.

Jelas penalaran logika semata ketika bicara hukum Islam adalah penalaran yang cacat dan tidak pada tempatnya. Cacat epistemologis yang parah dan fatal ini sungguh tidak hanya menyesatkan orang itu sendiri, tetapi juga menyesatkan orang lain, bahkan dapat menyesatkan berjuta-juta manusia di sebuah masyarakat atau negara. Sungguh Allah SWT kelak di Hari Kiamat akan meminta pertanggung jawaban kepada orang zalim yang telah menyesatkan manusia-manusia lainnya. Firman Allah SWT (artinya),”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al Israa` [17] : 36).

Ya Allah lindungilah kami dari kesesatan. Tunjukilah kami selalu pada jalan-Mu yang lurus. Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah!

Yogyakarta, 9 Desember 2017

Muhammad Shiddiq Al Jawi
HP : 081328744133
E-mail : shiddiq-aljawi@protonmail.com
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Tobatnya Cebonger Pasca Nonton ILC "212: Perlukah Reuni?"

Kali ini ILC yang digawangi TVOne betul-betul banyak membawa ibroh yang mendalam. bagaimana tidak, dalam acara tersebut para nara sumber begitu tampak "istimewa" dan tampak keasliannya, mana yang bener-bener asli berilmu dan mana yang asli bonek (bondo nekat). disisi lain para pemirsa yang menonton acara ini juga bisa melihat dengan jelas mana haq dan mana batil.

salah satu yang akhirnya terbuka fikiran dan hatinya dari salah seorang cebonger yang tidak disebut namanya tapi dia mencurahkan isi hatinya pada salah satu saudari netizen Yeni Kamil.

Berikut curhatannya seperti disampaikan Yeni Kamil di fbnya:

“Yen, maafin gw yaaa selama ini gw buta banget ….bener kata lo tai kucing tetep kecut dan bacin kagak bakal jadi rasa coklat.
Malu gw seumur seumur liat orang yang selama ini gw sanjung sanjung ternyata cuma tembelek ayam….keliatannya aja kokoh pas di toel buyar …..semua dah gw blokir blokiran akun akun si profesor, yang kata lu kang bubur, kang kopi dan kang buku …masih ada Yen beberapa lagi yang mau gw blokir blokirin.
Doain gw yaa Yen …ini awal gw tobat mau belajar dengan benar dan sesuai dengan apa yang Rasulullah ajarin…😭😭😭😭😭
Dan Yen ….makasih banget yaaa selama ini lu ggak putuskan pertemanan atau blokir gw …padahal gw tau kadang kadang lu nulis itu jelas banget lu tunjukin buat gw. Biar lu tau aja Yen ….alhamdulillah banyak yang bertobat gegara ILC smalam liat ustadznya cuma plonga plongo ….klo tahun depan ada reuni dan gw ada umur gw mau datang Yen dan gw mau kibarin kedua bendera itu ….gw baca postingan lu sejujurnyaa gw nangis ….bisa ggak yaa gw berakhir dengan kalimat yang tertulis di bendera itu ….. Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah ….Allahu akbaaaaar ….😭😭😭😭

*dan tiba tiba sesak menyeruak di dada ….ku balas pesanmu hanya dengan kalimat ….Alhamdulillah 😍😍😍
Salam Dhuha penuh damai.

Subhaanalloh...semoga taubat dan doa + harapan mantan cebonger tersebut di ijabah Oleh Alloh SWT. aamiin...

.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Lemahkah Hadits-hadits Tentang Panji Rasulullah saw?

Soal: Benarkah hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah? Benarkah hadis-hadis tentang keduanya merupakan rekaan Hizbut Tahrir? Mohon penjelasan!

Jawab:

Jika ada yang menuduh bahwa hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah, apalagi kemudian menuduh bahwa itu merupakan rekaan Hizbut Tahrir, maka tuduhan itu jelas bukan dari orang yang mengerti hadis; jika tidak boleh disebut bodoh tentang ilmu hadis. Mengapa?

Pertama: Karena terdapat banyak hadis sahih, atau minimal hasan, yang menyebutkan bahwa Rayah (Panji) Rasul itu berwarna hitam dan Liwa’ (Bendera)-nya berwarna putih. Contohnya hadis berikut:

عَنْ ابنِ عَبَّاسِ قَالَ كاَنَتْ رَايَةَ رَسُوْلُ اللَّهِ صل الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ

Ibn ‘Abbas berkata, “Rayah Rasulullah saw. itu berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih.” (HR at-Tirmidizi).

Dalam hadis lain dinyatakan:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ

Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. telah memasuki Kota Makkah, sedangkan Liwa’ [bendera]-nya berwarna putih (HR an-Nasa’i).

Hadis di atas, selain diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, at-Thabarani, Ibnu Abi Syibah dan Abu Ya’la. Hadis-hadis ini statusnya sahih. Dengan jelas, dinyatakan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih. At-Tirmidzi memberikan catatan untuk hadis yang dia riwayatkan, “Ini adalah hadis hasan gharîb dari arah ini, dari hadis Ibn ‘Abbas.”

Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadis. Semuanya berujung pada jalur sahabat Jabir dan Ibnu ‘Abbas ra.

Karena itu mengatakan bahwa panji dan bendera Rasulullah saw. yang dikampanyekan oleh HTI adalah rekaan semata justru merupakan tuduhan bodoh. Bisa karena bodoh tentang hadis-hadis tersebut atau bodoh tentang ilmu hadis. Jika orang tersebut paham hadis dan ilmu hadis, maka tuduhan seperti itu justru menunjukkan pengingkaran orang itu terhadap hadis-hadis tersebut, atau tuduhan palsu kepada Rasulullah saw. Ini tentu lebih parah lagi.

Para ulama pun sudah membahas hal ini ketika menjelaskan hadis-hadis di atas dalam kitab syarah dan takhrij-nya. Sebut saja, seperti ‘Ala’uddin al-Hindi dalam Kanz al-‘Ummâl, al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id, Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, al-Abadi dalam Tuhfah al-Ahwadzi, dan lain-lain.
Selain itu banyak hadis sahih lain yang berbicara terkait dengan Ar-Rayah dan Ar-Liwa, antara lain:

قَالَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَ خَيْبَرَ (لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَة غَدًا  رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ)

Nabi saw. berdabda saat Perang Khaibar, “Sungguh besok aku akan memberikan Rayah [panji] ini kepada seorang kesatria yang melalui kedua tangannya, akan diberi kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hiban, al-Baihaqi, Abu Dawud Thayalisi, Abu Ya’la, an-Nasa’i, at-Thabarani, dan lain-lain.

Kedua: Memang ada beberapa hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ dengan status hadis yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadis dari Harits bin Hassan al-Bakri yang berkata, “Kami telah tiba di Madinah. Ketika itu Rasulullah saw. sedang berada di atas mimbar, sementara Bilal berdiri di depan bbeliau bersandar pada pedang di depan beliau. Si sana ternyata ada beberapa Rayah [panji] yang berwarna hitam. Aku bertanya, ‘Ini panji-panji apa?’ Mereka menjawab, ‘Panji ‘Amru bin al-‘Ash. Dia baru tiba dari peperangan.’” (HR Ahmad).

Mengomentari hadis ini, Syaikh Syu’aib al-Arnauth memberikan catatan, “Isnad-nya lemah, karena ‘Ashim bin Abi Nujud tidak pernah bertemu dengan Harits bin Hassan.”

Demikian juga dengan hadis dari Ibn ‘Abbas yang berkata, “Rayah [panji] Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih. Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”
Di sana ada rawi bernama Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj bin Risydin bin Sa’ad bin Muflih bin Hilal. Dialah yang disebut sebagai tertuduh melakukan pemalsuan.

Ketiga: Terkait hadis-hadis yang di dalamnya ada lafal berikut:

مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ

“Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.

Apakah semuanya berstatus lemah? Nanti dulu. Jika hanya satu hadis dan satu jalur seperti itu kemudian divonis lemah, maka vonis seperti hanya lahir dari orang yang bodoh tentang hadis, atau ilmu hadits. Pasalnya, hadis-hadis seperti ini banyak, tidak hanya satu. Jika ada satu yang lemah, tidak serta-merta semuanya. Ini karena dalam ilmu hadis dikenal syawâhid, yang bisa menguatkan status hadis lain.

Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahani dalam kitab Akhlâq an-Nabi saw. dari Ibnu ‘Abbas statusnya jelas sahih. Adapun jalur lain dari Abu Hurairah memang lemah karena ada rawi bernama Muhammad bin Abi Humaid yang dinyatakan munkar oleh al-Bukhari, dinyatakan tidak tsiqah oleh an-Nasa’i, dan tidak ditulis hadisnya oleh  Ibnu Ma’in. Namun, hadis dari jalur Ibnu ‘Abbas, semua rawinya dapat diterima.

Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’îf karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady). Namun, Ibnu Hibban menempatkannya dalam kitabnya, Ats-Tsiqqât; Abu Hatim mengatakan Shadûq; Abu Bakar al-Bazzar mengatakan Masyhur “Laysa bihi Ba’sa”. Karena itu, status Tafarrud-nya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadaratkan hadis karena keadaannya tsiqah atau shadâq (lihat: Muqaddimah Ibn Shalah).

Demikian juga ikhtilâth antara nama Hayyan bin Ubaidillah dan Haban bin Yassar  sudah dijelaskan oleh para ulama, seperti dalam Târîkh al-Kabîr, Tahdzîb al-Kamal, Al-Kâmil fî adz-Dhu’afâ’, Mîzan al-I’tidâl, dan lain-lain. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilâth Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Jadi, kesimpulannya, hadis dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas jelas selamat.

Apalagi kalimat Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh merupakan ‘alamah (identitas) utama dalam Islam. Kalimat tersebut merupakan kalimat tauhid, yang dinyatakan dalam kesaksian seseorang ketika menjadi Muslim, dan dinyatakan setiap kali shalat.

Jadi, jika ada yang mengatakan, “Secara umum hadis-hadis yang menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas sahih” adalah tuduhan orang yang tidak paham hadis; tidak paham ilmu hadits. Kalaupun paham keduanya, tuduhan itu justru menunjukkan pengingkarannya terhadap hadis, bahkan tuduhan bohong kepada Nabi saw.

Keempat: Soal warna, hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih sudah jelas. Adapun hadis-hadis yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’îf, dan penggunaannya bersifat temporer, tidak terus-menerus.

Hadis riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning. Menurut penulis kitab Al-Badr al-Munîr, isnad-nya majhûl [tidak jelas].

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani. Hadis ini lemah karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Saad yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut adz-Dzahabi.

Demikian juga hadits dalam riwayat ath-Thabarani menyebutkan bahwa warna Rayah Nabi saw. adalah merah. Hadis ini pun lemah karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.

Terakhir, hadis riwayat Ibnu Hibban, Ahmad dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan Ar-Rayah berwarna merah dan statusnya sahih, kejadiannya bersifat temporer, dan itu pada awal-awal urusan ini ketika pada masa Jahiliah, juga awalnya menggunakan Ar-Rayah warna hitam.
Poin-poin di atas semuanya terkait dengan hadis dan ilmu hadis. Selain itu, menentukan status bendera tersebut ada atau tidak, wajib atau tidak, ini merupakan masalah yang terkait dengan disiplin ilmu lain, yaitu Ushul Fiqih.

Keenam: Dalam kajian Ushul Fiqih, dikenal adanya qarînah, antara lain, bisa disebutqarînah mudâwamah [indikasi penggunaan atau dilakukan terus-menerus]. Sebagai contoh, tartib [urut-urutan] dalam rukun wudhu, shalat, haji dan umrah, misalnya, oleh mazhab Syafii dimasukkan sebagai perkara yang wajib, dan tidak boleh ditinggalkan. Pertanyaannya, dari mana Imam Syafii menetapkan semuanya itu sebagai rukun yang wajib dikerjakan? Jawabannya: dari qarînah mudâwamah. Pasalnya, Nabi saw. tidak pernah berwudhu, shalat, haji dan umrah, kecuali dengan urut-urutan seperti itu. Hal itu dilakukan terus-menerus, tidak pernah diselisihi. Alhasil, tindakan Nabi saw. yang terus-menerus dan tidak pernah menyelisihi itu sudah cukup menjadi qarînah, bahwa status perkara ini wajib.

Jika logika yang sama digunakan dalam kasus Ar-Rayah dan Al-Liwa’ tersebut, maka penggunaan Nabi saw. atas keduanya secara terus-menerus menunjukkan bahwa hukum menggunakan keduanya juga wajib. Kesimpulan ini ditarik dengan menggunakan logika dan kaidah Ushul Fiqih Imam Syafii. Jadi, aneh, kalau ada yang mengklaim sebagai pengikut mazhab Syafii, tetapi menolak hukum Ar-Rayah dan Al-Liwa’ ini.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
.........Lihat Selengkapnya