gravatar

Apa? Intelijen boleh menyadap lalu menangkap, menahan orang hanya karena komentarnya di Facebook atau Twitter

**cerita Fiktif
Intelijen adalah alat negara untuk melindungi negara dan segenap warganya. Namun, hal ini menjadi paradoks karena ketika intelijen diberikan wewenang, sering kali yang terancam malah warga negara itu sendiri.

Pengamat militer Andi Widjajanto mengingatkan akan ”negara intelijen” yang ditandai dengan kehadiran Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dengan kekuasaan tak terbatas demi stabilitas terkendali dan demi ”pembangunan”.

Di sisi lain, intelijen yang kuat dan profesional sangat diperlukan. Al Araf, peneliti dari Imparsial, menyampaikan, banyak ancaman terhadap keamanan nasional, seperti terorisme, penyelundupan senjata, separatisme bersenjata, penjualan wanita dan anak-anak, serta narkoba. Sementara ancaman yang bersifat tradisional, seperti masalah perbatasan Indonesia-Malaysia di Ambalat, masih marak. Diperlukan intelijen yang andal untuk membawa informasi yang valid demi pengambilan keputusan yang tepat oleh Presiden.

Oleh karena itu, pembahasan RUU Intelijen Negara yang sedang berjalan antara Komisi I DPR dan pemerintah diharapkan dapat menguatkan intelijen, yaitu dengan memberi landasan hukum untuk pengaturan organisasi, kegiatan, dan produk intelijen. Namun, penguatan ini harus dilakukan dalam koridor Indonesia negara demokrasi yang menjunjung hak asasi manusia. Tujuan akhirnya adalah UU Intelijen Negara yang berpihak terhadap kepentingan rakyat Indonesia.

Ada beberapa hal yang dipertanyakan dalam RUU Intelijen Negara yang diajukan DPR, apalagi tambahan yang diajukan pemerintah. Pertama, soal pemisahan antara intelijen luar negeri dan dalam negeri yang tidak jelas. Padahal, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Intelijen luar negeri berfungsi untuk mengumpulkan data dan melakukan tindakan spionase terhadap pihak asing yang dianggap mengancam keamanan nasional. Adapun intelijen dalam negeri mewaspadai kemungkinan makar, subversi, terorisme, separatisme, dan sabotase.

Ketidakjelasan pemisahan antara intelijen luar negeri dan dalam negeri ini diperparah dengan tidak dipisahkannya fungsi intelijen dalam negeri dan penegakan hukum. Usulan pemerintah agar Badan Intelijen Negara (BIN) memiliki kewenangan pemeriksaan intensif maksimal 7 x 24 jam adalah kesalahan fatal karena penangkapan dan penahanan merupakan domain polisi. Pihak yang mendukung argumen ini menyampaikan contoh, bagaimana cikal bakal terorisme tak bisa ditangkap karena tidak ada landasan hukumnya.

Namun, hal ini dengan mudah dibantah. Pemberian wewenang penangkapan membawa masyarakat pada situasi negara yang darurat secara permanen. Padahal, hal-hal itu bisa diatur secara ad hoc, sekiranya negara berada dalam keadaan krisis. Penangkapan cikal bakal teroris, misalnya, bisa diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Kewenangan pemeriksaan intensif hanya satu contoh dari perbedaan antara draf awal RUU Intelijen Negara dan usulan pemerintah, yaitu keberadaan BIN. Pemerintah masih setia dengan pola pikir perlunya pemusatan kekuasaan intelijen pada satu institusi terpusat, seperti Kopkamtib. Argumennya, demi efektivitas kerja intelijen. Namun, hal ini pun bisa dibantah. ”Tidak perlu ada badan yang mengoordinasikan intelijen. Memang harusnya terpisah. Kalau ada krisis, baru membuat satgas gabungan intelijen,” kata Andi Widjajanto.

Selain wewenang penangkapan, BIN juga akan dilengkapi dengan kewenangan untuk menyadap alias memata-matai warga negaranya sendiri. Tidak saja surat elektronik, akun di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter yang akan dimata-matai, sebagaimana sudah dilakukan saat ini. Namun, kebebasan publik yang menjadi taruhan. Intelijen yang boleh menyadap lalu menangkap tadi bisa menahan orang hanya karena komentarnya di Facebook atau Twitter, ucapan dalam percakapan telepon, atau obrolan saat nongkrong di angkringan.

Menurut Widjajanto, wewenang menyadap ini hanya bisa dilakukan kalau otoritas politik telah membuat sebuah pernyataan publik tentang seseorang atau organisasi yang dianggap bisa membahayakan keamanan negara. Dengan demikian, warga sipil tidak takut. Sementara Al Araf berpendapat, penyadapan mutlak memerlukan izin pengadilan. ”Kalau pengadilan menilai penyadapan disalahgunakan, aparat intelijen bisa diproses hukum,” kata Al Araf.

Ada sederet catatan. Pertama, tidak disebutkan aparat dan institusi intelijen tidak boleh berpolitik. Padahal, bukan rahasia lagi kalau banyak penggalangan dan pengondisian politik dilakukan oleh intelijen demi kepentingan rezim petahana. Kedua, RUU ini belum menunjukkan mekanisme koreksi seperti keluhan publik atas kelalaian kerja intelijen.[Kompas Jumat, 25 Maret 2011, judul: "RUU INTELIJEN. Untuk Rakyat atau Penguasa?"]

Photobucket

catatan-catatan

Video Streaming HTI

Kitab-kitab Gratis

Photobucket