gravatar

RUU Intelijen Apakah untuk bendung intel Asing ataukah untuk "menghalalkan" sikap Represif Pemerintah?

Bendung Intel?

Jakarta, Salah satu alasan DPR mengusulkan dibuatnya UU Intelijen adalah karena Indonesia menjadai sasaran empuk intelijen asing. Namun alih-alih membuat pasal-pasal yang membentengi negara dari serbuan intelijin asing, draf yang diajukan pemerintah malah berpotensi memusuhi perjuangan penegakkan syariah Islam. Benang merah tersebut ditemukan saat sejumlah ormas Islam melakukan audiensi dengan Fraksi Partai Amanat Nasional, Rabu (18/5) sore di ruang pertemuan F PAN DPR RI, Senayan Jakarta.

Anggota Komisi I dari F PAN Muhammad Najib mengatakan titik tekan RUU ini memang untuk menangkal terorisme kemudian diperluas ke masalah disintegrasi.  “Indonesia ini menjadi sasaran empuk intelijen asing,” ujar Mummad Najib dari F PAN.

Menurutnya itulah salah satu alasan DPR mengusulkan dibuatnya UU Intelijen kali ini. Menurutnya, satu-satunya tugas kedutaan yang tidak disampaikan secara terbuka adalah melakukan aktivitas intelijen di antaranya adalah aktivis yang berupaya melakukan ketidakstabilan negeri ini karena tidak ingin negara yang mayoritas perpenduduk Islam ini bersatu dan kuat.

Ormas Islam pun sepakat kalau memang dibuatnya UU Intelijen itu untuk membendung intelijen asing. Karena asing, dalam hal ini negara non Muslim yang memerangi Islam, memang musuh.

“Kalau PAN mengatakan untuk membendung intelijen asing dan disintegrasi kami setuju, tapi mengapa dalam RUU ini tidak nongol (pasal-pasal yang membendung intelijen asing, red), di dalam diskusi juga tidak nongol?” tanya Ketua Lajnah Faaliyah DPP HTI Muhammad Rahmat Kurnia.

Justru yang nongol dalam diskusi akademik malah pendeskriditan Islam. Misalnya, seperti yang dinyatakan LSM komprador Setara Institute bahwa intoleransi (yang disebut intoleransi di sini di antaranya tidak setuju anggota keluarganya menikah dengan non Muslim, tidak setuju dibangun gereja di lingkungannya), melahirkan radikalisasi, dan radikal merupakan satu langkah lagi menuju terorisme.

“Dari radikalisme ternyata ujung-ujungnya  ke Islam. di ruang Komisi 1 DPR RI memang tidak terlihat, tetapi kami yang di lapangan melihat, bahkan bertarung!” ujar Rahmat. Rahmat pun mengingatkan intelijen asing beroperasi tidak hanya melalui atase militernya tetapi juga melalui LSM asing/komprador dan penelitian asing.

Selain Najib, anggota F PAN yang menerima ormas Islam adalah Azwar Abu Bakar yang juga anggota Komisi I. Sedangkan di pihak ormas Islam, selain HTI, hadir pula utusan dari Syarikat Islam; Al Ittihad; DDII; GPMI; KAHMI; Al Irsyad Al Islamiyah; dan Mahad Daarul Muwahhid.[joko prasetyo/mediaumat.com]




Pemerintah Represif?

Jakarta. Pemerintah selalu saja memojokan umat Islam terkait kasus terorisme dan bila RUU Intelijen disahkan DPR sesuai dengan draf yang ada maka dikuatirkan pemerintah akan semakin represif. Hal itu dinyatakan sejumlah ormas Islam saat audiensi dengan Komisi I DPR RI terkait RUU Intelijen, Rabu (18/5) pagi di Ruang Rapat Komisi I Geduang Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta.

Namun kekuatiran tersebut dibantah oleh angota Komisi I Nurhayati Ali Assegaf. “Dalam rapat dengan Menteri Pertahanan dan Badan Intelijen Negara kami telah menegaskan kepada pemerintah bahwa terorisme jangan lagi dikaitkan dengan Islam,” ujar politisi dari Fraksi Demokrat tersebut.

Namun ormas Islam tidak melihat ada perubahan komunikasi dari pemerintah, khsusunya dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang tendensius. “Buktinya, Ketua BNPT Ansyaad Mbai langsung menuduh bahwa pelaku bom buku adalah orang yang ingin menegakkan syariah Islam dan khilafah padahal polisi belum melakukan penyelidikan,” ujar Jubir Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Belakangan, polisi menangkap otak dari bom tersebut Pepi Fernando dan memastikan bahwa yang dilakukan Pepi cs semata hanya kepentingan bisnis.

Selain Ismail, perwakilan ormas Islam yang turut audiensi di antaranya adalah Ketum Syarikat Islam Djauhari Syamsuddin; Sekjen Al Ittihadiyah Fikri Bareno; Sekjen Al Irsyad Al Islamiyah Bachtiar; Wakil Sekjen KAHMI Fahrurrazi; Sekretaris Dewan Dakwah Islam Indonesia Zahir Khan; Ketua GPMI Abdul Chalik; dan Pimpinan Mahad Daarul Muwahhid HM Shoffar Mawardi.

Mereka menyatakan bahwa potensi represif dari draf yang diajukan pemerintah tersebut di antaranya karena tidak adanya definisi yang jelas terkait frase “ancaman nasional”, “keamanan nasional”, dan “musuh dalam negeri”.

“Sehingga orang yang kritis misalnya, bisa dianggap sebagai musuh dalam negeri atau sebagai ancaman nasional, atau mengganggu keamanan nasional, hanya karena berbeda pandangan politik dengan penguasa!” ujar Djauhari.

“Apalagi dalam Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa intelijen negara adalah lembaga pemerintah bukan lembaga negara,” timpal Ketua Lajnah Faaliyah DPP HTI Muhammad Rahmat Kurnia.

Sedangkan anggota GPMI Azam Khan menyoroti Pasal 3 yang memberikan kewenangan kepada BIN untuk melakukan interograsi intensif paling lama 7 X 24 jam. “Adanya penahanan 7 x 24 jam yang tidak boleh didampingi oleh penasihat hukum maka akan terjadi cuci otak, tekanan psikologis, pemaksaan, pemukulan, dan rekayasa terjadi. Sebab barang bukti yang tidak ada menjadi ada,” ujarnya melihat pengamalan Densus 88 pada pasal senada di UU Terorisme.

Berkaitan dengan draf pasal-pasal yang menjadi keberatan ormas Islam pimpinan audiensi dari Komisi I Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan akan membawanya ke rapat kerja dengan pemerintah terkait dengan daftar inventaris masalah (DIM).

“Besok kami akan raker dengan pemerintah DIM per DIM, termasuk 7 x 24 jam itu. Kami belum bisa menyatakan itu benar atau salah sebelum pemerintah menjelaskan alasannya,” kelit politisi dari Fraksi Golkar itu.[joko prasetyo/mediaumat.com]

Photobucket

catatan-catatan

Video Streaming HTI

Kitab-kitab Gratis

Photobucket