gravatar

9 Pelemahan Draf Revisi UU Tipikor Versi ICW

Jakarta, Bukannya bertambah kuat dan membuat takut koruptor, draf revisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) justru mengandung sejumlah pelemahan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 9 pelemahan yang ada dalam draf UU Tipikor hasil susunan pemerintah.
"Sejumlah pasal di RUU Tipikor tersebut justru lebih lemah dan kompromistis dibanding UU No 31/1999 dan UU No 20/2001 tentang Tipikor yang ada dan berlaku saat ini," kata peneliti ICW Donal Fariz dalam jumpa pers di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (27/3/2011).

Menurut Donal, langkah pemerintah menyusun draf revisi UU Tipikor yang mengandung banyak kelemahan itu berseberangan dengan agenda pemberantasan korupsi. Ditambah dengan maraknya kriminalisasi pihak-pihak yang antikorupsi, niat pemerintah untuk membasmi koruptor kini semakin diragukan.

Berikut 9 kelemahan revisi UU Tipikor yang digodok oleh pemerintah menurut ICW:

1. Hilangnya ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999. "Ancaman hukuman mati masih penting dipertahankan karena akan jadi upaya untuk mengurangi atau menekan potensi korupsi, meski pasal ini belum diterapkan," kata Donal.

2. Hilangnya pasal 2 tentang "kerugian keuangan" negara yang sebelumnya banyak digunakan penegak hukum untuk menjerat koruptor. Hingga saat ini, KPK telah menjerat 42 tersangka korupsi dengan pasal tersebut.

3. Hilangnya "ancaman hukuman minimal" di sejumlah pasal. Padahal ketentuan tentang ancaman hukuman minimal ini adalah salah satu ciri dari sifat extraordinary korupsi di Indonesia. ICW menemukan 7 pasal di RUU Tipikor yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal.

4. Penurunan "ancaman hukuman minimal" menjadi hanya 1 tahun. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk untuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor. Bandingkan dengan UU 31/1999 jo 20/2001 yang memiliki ancaman hukuman minimal bervariasi tergantung jenis kejahatan, yaitu: 1 tahun, 2, 3 dan bahkan 4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara.

5. Melemahnya sanksi untuk mafia hukum, seperti suap untuk aparat penegak hukum. Di UU 31/1999 jo UU 20/2001 suap untuk penegak hukum seperti hakim ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan di RUU Tipikor ancaman minimal hanya 1 tahun dan maksimal 7 tahun (ditambah 1/3) atau 9 tahun.

6. Ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi.

7. Korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum (pasal 52). Meskipun dalam klausul tersebut disebutkan pelepasan dari penuntutan hanya dilakukan setelah uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah, hal ini tetap saja dapat dinilai sebagai bentuk sikap 'kompromi' terhadap koruptor. Apalagi korupsi tidak bisa dinilai hanya dari nilai uang, melainkan harus dilihat dari unsur jahat dan busuknya perbuatan.

8. Kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas dalam RUU (Pasal 32), padahal di pasal sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas. Hal ini harus dicermati agar  jangan sampai menjadi celah untuk membonsai kewenangan penuntutan KPK.

9. Tidak ditemukan dalam RUU Tipikor aturan seperti Pasal 18 UU 31/1999 dan UU 20/2001 yang mengatur tentang Pidana Tambahan: pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, penutupan perusahaan yang terkait korupsi.
[detiknews.com, 27/03/2011]

Photobucket

catatan-catatan

Video Streaming HTI

Kitab-kitab Gratis

Photobucket