gravatar

Demokratisasi atau Revitalisasi? (Tanggapan untuk Ahmad Syafii Maarif)

Oleh: Muhammad Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia)

Tulisan Ahmad Syafii Maarif (ASM), Revolusi Tahrir dan Demokrasi di rubrik Resonansi (Republika, 22/02), menarik untuk dikaji sekaligus dikritisi. Apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini merupakan hal yang natural. Pemerintah diktator yang bertindak represif dan gagal menyejahterakan rakyatnya, sekuat apa pun akan tumbang. Dalam kondisi seperti ini, yang penting bagi rakyat adalah turunnya penguasa diktator. Artinya, bisa jadi rakyat tidak begitu peduli apakah itu demokrasi atau tidak!

Justru, di sinilah titik rawan dari pergolakan di Timur Tengah. Perubahan tanpa visi yang jelas tentang sistem masa depan, bisa dibajak oleh siapa saja, termasuk rezim lama yang berganti wajah menjadi pendukung rakyat dan terkesan reformis. Di Mesir, kecenderungan seperti ini yang tampaknya kini terjadi. Dewan tertinggi Angkatan Bersenjata, yang sekarang memegang kekuasaan transisi, diisi oleh perwira tinggi atau mantan perwira loyalis Mubarak yang pro-Amerika dan Israel, seperti Umar Suleiman dan Tantawi.

Termasuk, rawan dibajak kepentingan asing. Perubahan sebatas rezim menjadi cara untuk revitalisasi dominasi negara besar dengan mengangkat rezim baru yang tetap dalam kontrol mereka. Amerika yang selama 30 tahun mendukung rezim Mubarak yang diktator, berubah arah seakan-akan menjadi pembela rakyat Mesir. Padahal, pada awal masa pergolakan, Amerika masih memuji Mubarak, bahkan Joe Biden, wapres AS, menyatakan Mubarak bukanlah diktator.

Karena itu, Hizbut Tahrir dalam seruannya mengingatkan masyarakat Mesir dan Timur Tengah bahwa seharusnya yang dituntut bukanlah sebatas perubahan rezim, melainkan juga sistem. Dalam hal ini, sistem demokrasi sekuler bukanlah pilihan satu-satunya. Terdapat persoalan perbedaan ‘value’ dari segi sumber kedaulatan hukum yang tertinggi antara Islam dan demokrasi. Di samping itu, demokrasi sering kali digunakan menjadi alat politik yang efektif mempertahankan kepentingan rezim lama yang berganti wajah dan negara-negara imperialis.

Adapun tentang jaminan hak-hak warga, kebolehan berpendapat, pemilihan oleh rakyat, transparansi, persamaan di depan hukum, bukanlah monopoli sistem demokrasi seperti yang diklaim ASM.

Islam menegaskan bahwa kedaulatan, dalam pengertian sumber hukum, ada di tangan hukum syariah (as-siyadah lil syar’i). Namun, kekuasaan ada di tangan rakyat (as-sulthan lil ummah), dalam pengertian rakyat atau wakilnyalah yang berhak memilih khalifah (nizhamul hukmi fi al Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani). Khalifah bukanlah sistem warisan seperti monarki. Hal itu tecermin dari pemilihan Khalifah Abu Bakar RA yang dibaiat oleh ahlul halli wal aqdi, yang merupakan representasi masyarakat Islam.

Mengkoreksi khalifah atau kepala negara, bukan saja sah dalam Islam, bahkan wajib. Hal ini karena Khalifah bukanlah sumber kedaulatan hukum seperti dalam sistem monarki. Khalifah adalah manusia biasa yang mungkin saja keliru. Dalam hadisnya Rasulullah SAW menyebut afdhalul jihad (sebaik-baik jihad) dan sayyidusy syuhada adalah siapa pun yang mengoreksi pemimpin yang zalim kemudian dia terbunuh.

Ketaatan kepada khalifah juga bukanlah mutlak, tapi ada batasnya. Rasulullah menyatakan, “Tiada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah SWT.” Karena itu, dalam sistem khilafah, keberadaan individu, partai, atau kelompok yang berfungsi untuk melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa dijamin oleh negara.

Tentu saja, sepanjang sejarah khilafah tidak semuanya lurus. Khalifah adalah manusia yang juga bisa menyimpang dari Islam. Namun, penyimpangan perilaku khalifah dari hukum syariah, bukan karena kesalahan sistem khilafahnya. Karena itu, kalau ada khalifah yang terbunuh, yang salah bukan sistem khilafahnya, tapi tindakan pembunuhan itulah yang menyimpang dari hukum syariah.

Dalam sejarah sistem demokrasi Amerika Serikat, empat presidennya (Abraham Lincoln, James Abram Garfield, William McKinley, dan John F Kennedy) semuanya tewas terbunuh. Sejarah demokrasi AS juga mengalami perang saudara.Total korban tewas di pihak utara (Union) 360 ribu orang, yang terluka 275.200 orang. Di pihak konfederasi total korban tewas 260 ribu orang dan lebih dari 137 ribu orang terluka. Namun, pengusung demokrasi tidak pernah menyalahkan sistem demokrasi karena adanya pembunuhan terhadap presidennya atau perang saudara tersebut.

Mengangkat sebagian sejarah khilafah yang gelap, tetapi menutup-nutupi sejarah panjang kejayaan khilafah adalah cara pandang yang tidak objektif dan juga ahistoris. Apalagi, bila menyatakan sistem khilafah membelenggu pemikiran umat tanpa disertai bukti-bukti. Bukankah justru dalam sistem khilafah banyak bermunculan para ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka dengan karyanya yang gemilang? Seperti Imam Syafii, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan banyak lagi lainnya.

Perpustakaan Khalifah al-Hakim di Kairo menyediakan 1,6 juta volume buku. Mengenai hal ini, Bloom and Blair menyatakan, “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf, membaca, dan menulis) dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Islam: A Thousand Years of Faith and Power).

Keemasan khilafah ditulis secara jujur oleh sejarawan dunia seperti Will Durant dalam Story of Civilization. “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.” Pertanyaannya, bagaimana mungkin karya-karya cemerlang ini lahir dari sistem khilafah yang dituduhkan oleh ASM sebagai sistem yang membelenggu pemikiran?

Termasuk, terlampau tergesa-gesa menyimpulkan sistem diktator negeri-negeri Arab saat itu merupakan warisan Dinasti Umayyah. Mengingat rezim diktator itulah yang selama ini justru paling gencar memberangus aktivis Islam yang ingin menegakkan khilafah dan syariah Islam. Di samping ada yang mengadopsi monarki absolut, rezim diktator di Arab justru merupakan negara-negara sekuler, menganut sistem republik, demokrasi atau sosialisme seperti Mesir, Tunisia, dan Libya. Bagaimana sistem ini dikatakan mewarisi sistem khilafah?

Terakhir, kalau jujur, kita seharusnya juga tidak menutup-nutupi fakta bahwa negara Barat yang mengklaim paling demokratislah yang selama ini mendukung rezim-rezim brutal di Timur Tengah. Sesuatu yang membuat kita semakin meragukan benarkah sistem demokrasi akan membawa keadilan? Jadi, siapa sebenarnya yang tidak objektif?(hizbut-tahrir.or.id)

Photobucket

catatan-catatan

Video Streaming HTI

Kitab-kitab Gratis

Photobucket