gravatar

Pendangkalan Akidah ala SMK Grafika

Sejak tahun 1970, setiap siswa Muslim tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan pelajaran agama Islam, justru mereka berdoa, ujian tulis dan praktik agama Katolik!

Meskipun agak risih, namun  H Ace Suhaeri, diam dan mendengarkan salah seorang siswa yang berdiri dan memimpin doa sekitar 20 siswa dengan  membentuk salib oleh tangan ke kepala dan bahu, sesaat sebelum ujian nasional (UN) di mulai di SMK Grafika Desa Putra, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Maklumlah, saat itu, tepatnya pada 2005,  merupakan pengalaman pertama bagi guru SMK Borobudur, Cilandak KKO, Jakarta Selatan tersebut ditugaskan untuk mengawasi ujian nasional di SMK yang bernaung pada Yayasan Budi Mulia Lourdes itu.

Ace pun penasaran dan ingin tahu, apakah ada di antara siswa di kelas itu yang beragama Islam. “Apakah kalian semuanya beragama Kristen?” pancing Ace. Namun, betapa kagetnya dia ketika mendengar jawabannya. “Nggak, bahkan di ruangan ini semuanya Muslim!” ungkap salah seorang siswa.

Ace pun bertanya lagi, mengapa mereka berdoanya seperti itu. “Emang Pak kalau di sini wajib doa sebelum belajar, ya seperti ini doanya,” jawab salah seorang siswa. Ace pun mempertanyakan jumlah siswa yang beragama Katolik di SMK tersebut. “Sedikit Pak, kalau ditotal paling cuma lima persen saja!” jawab sang siswa.

Tahun berikutnya,  Ace pun ditugaskan untuk memeriksa jawaban pelajaran agama ujian akhir sekolah (UAS) di SMK yang sama. Ia langsung menolak mentah-mentah memeriksa sekitar 108 lembar jawaban, lantaran seluruh lembar jawabnya tidak satu pun lembar jawab pelajaran agama Islam, semua Katolik. Padahal dari sekitar 108 peserta ujian tulis itu sekitar 76 siswanya beragama Islam!

“Saya kan kaget, sementara siswa  saya di SMK Borobudur yang siswa Kristennya dua orang saja, pelajaran agamanya diserahkan kepada pendeta,” ungkapnya kepada Media Umat. Menurutnya, bahkan peraktik ujian agama untuk siswa Muslimnya pun bukan shalat atau baca Alquran tetapi membuat cerita dari Bibel.

“Inilah suatu bukti yang konkrit bahwa ternyata umat yang dianggap kasih sayang, dianggap toleran justru terbukti sebagai umat yang tidak bertoleransi,” simpul Kristolog Irena Handono.

Tidak Ada Perubahan

Pada pertemuan-pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (MGMP PAI) untuk SMK yang diselenggarakan Ketua MGMP PAI Jakarta tahun 2007 di Pondok Gede, Jakarta Timur, Ace pun mengadukan temuannya itu termasuk kepada Kepala Kantor Wilayah KUA DKI Jakarta.  ”Iya Pak, rinciannya biar dicatat asisten saya,nanti kita coba tindak lanjuti,” jawab Kakanwil KUA DKI Jakarta saat itu.

Namun sampai Media Umat melakukan penelusuran di awal Pebruari 2012 ini, ternyata tidak ada perubahan aturan atau kebijakan apa pun terkait pelajaran agama untuk siswa yang beragama Islam di SMK tersebut, meskipun Kepala SMK Grafika Desa Putera Mateus Sumadiyono sempat berkelit.

“Secara jujur kami sampaikan ujian praktik di kami barangkali berbeda dengan di sekolah Katolik yang lain,  (sekolah Katolik yang lain, red) itu misalnya ada membaca kitab suci, kemudian menyanyi, dan sebagainya, selama ini mungkin untuk yang praktik kami cukup membuat doa. Dan itu doanya sesuai dengan doa-doa agamanya masing-masing,” ujarnya kepada Media Umat, Selasa (7/2) pagi di ruang tamu SMK Grafika Desa Putera.

Ucapan Sumadiyono itu menunjukkan bahwa sekolah Katolik lainnya lebih tidak toleran terhadap siswa Muslim. Sedangkan pernyataan praktik doa sesuai dengan agamanya masing-masing dibantah tegas oleh dua orang siswanya sendiri. Padahal keduanya merupakan siswa yang dihadirkan Sumadiyono untuk diwawancarai Media Umat.

“Praktiknya agamanya bikin cerita dari agama Katolik, kayak bikin cerita dari kitab sucinya dia, terus dipidatokan meskipun siswanya beragama Islam, ujian tertulisnya pun ya Katolik,” ujar Ade Rahmat Hidayat, siswa Kelas 12 Produksi A, yang mengaku dapat instruksi dari guru agamanya bahwa ujian praktik agama tahun 2012 pun akan menggunakan tatacara Katolik.

Hal senada juga dinyatakan oleh Puguh Ari Wahyudi, siswa Kelas 11 Produksi B. “Saya juga minta jam lain bagi kami siswa yang Islam itu buat belajar lebih dalam soal agama kami, tapi tidak ada,” ungkapnya.

Padahal, seperti diungkapkan Sumadiyono, setiap tahunnya sekitar 70 persen siswa yang beragama Islam sekolah di SMK tersebut. Jumlah total siswanya saat ini sekitar 315 orang. Artinya, ada sekitar 220-an siswa Muslim. Pendangkalan akidah tersebut sudah berlangsung sejak SMK Grafika Desa Putera itu didirikan pada 1970.

Namun, siswa Muslim dan  orang tuanya tidak dapat protes, karena ketika awal masuk, orang tua  sudah menandatangani perjanjian di atas materai. “Isinya bahwa menyadari lembaga kami adalah lembaga milik biarawan, kemudian mata pelajarannya, meskipun dalam prosesnya itu, melalui proses pelajaran agama Katolik, ya intinya itu saja,” singkat Sumadiyono menceritakan isi perjanjian  tersebut.

Seperti yang dinyatakan mantan biarawati Irena Handono, ketika kaum Salibis mempunyai kekuasaan dan membuat aturan maka umat yang mayoritas ini pun ditindas. Apakah seperti ini yang dinamakan toleransi? (joko prasetyo/tabloid mediaumat ed.76)

Photobucket

catatan-catatan

Video Streaming HTI

Kitab-kitab Gratis

Photobucket