gravatar

DPR ke Luar Negeri Bahas RUU Kesetaraan Gender

Komisi VIII DPR bakal studi banding ke luar negeri untuk membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Keadilan dan Kesetaraan Gender. Para wakil rakyat itu berdalih agar mendapatkan pemahaman secara komprehensif.
"Ada rencana kesana (luar negeri). UU ini (Keadilan dan Kesetaraan Gender) butuh perspektif dari negara lain tapi, tidak melupakan kultur negara," kata Ketua Komisi VIII DPR, Ida Fauziyah, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (15/3/2012).

Kendati demikian, Komisi VIII DPR belum menentukan negara tujuan yang hendak dikunjungi. "Mungkin ke Norwegia atau Swiss," ujar Ida.

Dia menyatakan, saat ini belum ada UU yang mengatur secara khusus soal gender. Padahal, para perempuan masih rentan mengalami diskriminasi dan marginalisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya, mereka telah menyusun rencana untuk studi banding ke negara yang dinilai sukses menjalankan pengarusutamaan gender.

Menurut Politisi PKB itu, saat ini pihaknya masih menyempurnakan draft RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender. Komisi VIII sudah meminta masukan dari beberapa kalangan termasuk, pimpinan ormas Islam seperti, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Hizbut Tahrir. Mereka menargetkan pembahasannya rampung pada sidang mendatang.

"Semua nanti dimintai masukan termasuk Komnas Perempuan dan LSM yang peduli perempuan," jelas Ida.

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Sri Budi Eko Wardani, mengatakan, Komisi VIII DPR tidak perlu studi banding ke luar negeri guna membahas RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender. Sebab, banyak produk perundang-undangan yang telah mengakomodasi pengarusutamaan gender.

Dia mencontohkan, Peraturan Menteri Keuangan dan Menteri Pemberdayaan Perempuan yang telah mengakomodir hak-hak perempuan dalam merumuskan kebijakan. "Bisa saja mendatangkan orang Korea ke sini atau korespondensi. Jadi, tidak harus studi banding," jelas Sri seraya menyatakan bahwa Korea Selatan merupakan salah satu negara yang memiliki UU mengenai Gender.

Dia menyarankan sebaiknya DPR menganalisa berbagai produk perundang-undangan yang telah mengatur persoalan gender agar tidak tumpang tindih. Bahkan, lembaga legisltaif itu bisa menjadikan Instruksi Presiden (Inpres) 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan menjadi sebuah UU. "Lebih strategis melakukan kajian dalam produk perundang-undangan," tandasnya.

Sebelumnya, MUI dan beberapa ormas Islam telah mempersoalkan RUU Kesetaraan Gender ini. Cendekiawan muda Adian Husaini mengatakanPerspektif dari RUU ini sangat sekuler, hanya menghitung aspek dunia semata. Jika dimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampak timpang.

Adian memberi contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah “double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang wanita karir. Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga.

Dalam RUU Kesetaraan Gender (pasal 1 ayat 1) yang sedang di DPR tersebut, Gender didefinisikan sebagai nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat setempat mengenai tugasm peran tanggungjawab, sikap dan sifat yang dianggap patut bagi perempuan dan laki-laki, yang dapat diubah dari waktu ke waktu.

“Dengan jalan pikiran seperti itu, maka para aktivis gender kemudian menciptakan model pemahaman ‘berwawasan gender’ terhadap Al Qur’an dan Sunnah. Menurut mereka, dalil-dalil dan hukum Islam tentang hubungan laki-laki dan wanita harus dilihat dalam konteks budaya Arab yang bersifat patriarki. Karena budaya Arab dihegemoni oleh laki-laki, maka wajar saja, hukum-hukum Islam yang dirumuskan oleh para ahli fiqih juga lebih menguntungkan laki-laki. Itulah pikiran mereka.” (eramuslim, Sabtu, 17/03/2012)