gravatar

Partai Keadilan Dan Pembangunan Maroko Tegaskan Loyalitasnya Pada Istana, Syar'ie-kah hal ini?

 Fakta:
Abdelilah Benkirane Ketua Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD) Maroko belum resmi memimpin pemerintah Maroko telah menegaskan loyalitasnya kepada Raja Muhammad VI, dan menegaskan kesetiaannya terhadap istana dalam hal kebijakan luar negeri.

Benkirane berbicara kepada Aljazeera pekan lalu, dan dalam pembicaraannya itu ia menegaskan kembali trilogi politik yang sakit, yang diyakini oleh partainya, yaitu: stabilitas, pelestarian kerajaan Maroko dan reformasi, yakni memerangi korupsi secara umum.

Benkirane dan wakilnya juga menegaskan bahwa pada tahun 1990 keduanya telah merumuskan sebuah dokumen yang di dalamnya gerakan menerima sistem kerajaan (monarki), bahkan di dalamnya mengakui apa yang disebut dengan Imârah al-Mukminîn (kepemimpinan kaum beriman) yang memberikan legitimasi agama bagi raja yang korup dan rezimnya yang banyak melakukan kerusakan di negara ini.

Jadi, Benkirane mengakui dalam dokumen itu bahwa sistem kerajaan (monarki) adalah penjamin integritas teritorial Maroko, juga mengakui bahwa Imârah al-Mukminîn (kepemimpinan kaum beriman) adalah penjamin identitas ke-Islam-an negara, dan tidak mengarah atau jatuh ke dalam cengkeraman jargon-jargon sekulerisme, katanya.

Inilah Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD) yang akan memimpin kabinet di Maroko, dan inilah hakikatnya. Pendek kata, keberadaan partai ini justru akan memperpanjang umur rezim kerajaan korup di Maroko (al-aqsa.org, 16/12/2011).

comment:

MONARKI bukan sistem yang sesuai Syariah...hanya KHILAFAH yang sah/ sesuai syariah.

Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undangundangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Hal ini karena: Sistem Pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan. Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan. Umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat khalifah. Sistem kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat. Hal itu menjadikan raja berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol bagi rakyat, yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah, seperti yang ada dalam beberapa sistem kerajaan. Atau ia menduduki jabatan raja sekaligus memerintah untuk mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang ada dalam beberapa sistem kerajaan yang lain. Raja tetap tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, Khalifah tidak diberi kekhususan dengan keistimewaan yang menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja. Khalifah juga tidak diberi kekhususan dengan hak-hak khusus yang mengistimewakannya—di hadapan pengadilan—dari individu-individu umat. Khalifah juga bukanlah simbol umat dalam pengertian seperti raja dalam sistem kerajaan. Akan tetapi,Khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusanurusan dan kemaslahatan umat. [muqadimah Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Penerbit: Dar al-Ummah Pengarang: Hizbut Tahrir. Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M]
wallohu a'lam bisshowab